Standar Pelaporan Keuangan Desa diperlukan dalam menyikapi kewajiban akuntabilitas dan  transparansi keuangan desa. Sebagaimana amanat Undang-Undang No. 6 tahun 2014 wacana Desa yang menyatakan bahwa desa menjadi subyek pembangunan, menyebabkan pemikiran dana APBN kepada desa.

Setiap desa memperoleh alokasi dana dari APBN sebesar Rp1 miliar ditambah sumber dana lain, yang ditinjau dari sisi manfaat sangat luar biasa. Dengan adanya dana desa, diharapkan pengangguran dan kemiskinan berkurang. Apabila desa sejahtera terwujud semua masyarakat senang maka mampu dikatakan ekonomi kerakyatan sudah berhasil.

Dana desa ini harus didukung terus supaya masyarakat desa tidak perlu urbanisasi ke kota. Pertanyaan yang muncul sehubungan dengan adanya dana desa yang besar, dengan kondisi desa yang bermacam-macam, dengan berbagai dana pendamping yang masih banyak permasalahan serta penguatan kelembagaan yang masih baru, yakni bagaimana dengan akuntabilitasnya?

Pada 2016 (tahun kedua) ini, DJPK akan menyalurkan dana desa dengan skema 60% pada bulan Maret dan 40% di bulan Agustus yang berubah dari tahun sebelumnya adalah 40%, 40%, dan 20%. Sampai ketika ini belum banyak disalurkan alasannya adalah belum ada pertanggungjawaban dana desa tahun sebelumnya (tahun 2015) yang merupakan salah satu syarat pencairan dana. Artinya, yang diharapkan masyarakat desa adalah laporannya dulu, sistemnya dulu, yang sesederhana mungkin. Uang masuk dari mana dan dipakai untuk apa.

Beberapa pertanyaan dari sisi  akuntansi desa :

Pertama, desa sebagai entitas yang harus diaudit atau tidak? Apakah entitas akuntansi atau entitas pelaporan?

Kedua, bila memang sebagai entitas yang diaudit, apakah desa itu sendiri? Ada opini BPK untuk masing-masing desa? Atau desa bab integral dari kabupaten/kota?

Bahwa perlu akuntabilitas keuangan desa. Namun, masalahnya siapa yang meng-approve akuntabilitasnya. Inilah yang perlu dikembangkan. Kalau pertanggungjawaban keuangan pemerintah desa diaudit BPK maka harus ada standar, apabila tidak maka cukup dengan ajaran sistem keuangan saja.

Bahwa desa itu sebagai entitas pelaporan, artinya harus menciptakan laporan keuangan dan melaporkannya. Pertanggungjawaban keuangan desa selama ini mengacu pada Permendagri. Desa membuat Peraturan Desa APBDes untuk penyusunan dan pertanggungjawaban.

Peran Camat akhir-selesai ini seperti tidak berfungsi, gaji besar namun tidak punya tugas apa-apa. Ke depan koordinasi dan penilaian dana desa akan diarahkan ke Camat. Apabila nanti standar akuntansi desa sudah dibuat, siapa yang meyakini bahwa desa dalam menciptakan laporan keuangan telah sesuai dengan standar. Telah terjadi beberapa kali sosialisasi Ikatan Akuntan Indonesia dan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dan tertengarai bahwa semangat desa itu luar biasa. Tertengarai pula bahwa di antara berbagai desa, terdapat kompetisi yang sehat. Tertengarai bahwa kompetisi tersebut berakibat baik pada pembangunan dan pemeliharaan fasos-fasum, antara lain ditemukan bahwa kualitas pekerjaan jalan desa menjadi lebih baik alasannya dikerjakan sendiri oleh desa tersebut daripada diborongkan. Dengan demikian dana desa berpotensi memberi pengaruh biliar atau multiplier effect. Pembangunan desa juga bertujuan memerangi pengangguran, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi.

Bahwa untuk menyusun standar akuntansi desa, satu satunya standar setter yang dibentuk berdasar amar UU Keuangan Negara memang Komite Standar Akuntanasi Pemerintahan (KSAP). KSAP yang mesti menyusun Standar Akuntansi Pelaporan Keuangan Desa. Perlu sekali standar keuangan desa. Kemudian dasar hukumnya yaitu harus Peraturan Pemerintah.

Standar ideal yakni standar yang dibuat supaya diterima (general accepted) desa se-Indonesia dengan segala heterogonitasnya. Dalam UU Desa, pendidikan minimal perangkat desa Sekolah Menengan Atas sedangkan kepala desa yaitu SMP. Kaprikornus standar dibentuk sesederhana mungkin, artinya standar Sekolah Menengah Pertama. Yang paling penting bahwa penyusunan laporan keuangan bukan paksaan tetapi sukarela, bukan pada rule based tetapi principle based dan voluntary based. Standar Pelaporan Keuangan Desa harus dibentuk se-low level mungkin, diterima semua pihak tanpa sumbangan konsultan atau pakar.

Selain BPKP yang bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri dalam membuat komputerisasi ajaran dan aplikasi pertanggungjawaban keuangan sesuai Permendagri, IAI juga telah memfasilitasi dan mendampingi desa. Direncanakan bahwa pada bulan Mei 2016 akan diresmikan kelembagaan atau fungsi pendamping desa, yang akan diwisuda oleh Gubernur di depan Presiden NKRI.

IAI sudah mempunyai Quality Assurance, agar terjadi sinkronisasi antar semua perwakilan IAI. Apabila ada perbedaan, mampu disamakan dalam Panduan Pendamping Desa, dengan pelatihan dan sertifikasi IAI. Bahwa KSAP sedang dalam proses penyusunan standar yang sudah dikomunikasikan dengan BPK.

Dalam area governance, KSAP membahas beberapa hal yang menyangkut aturan yang sebaiknya disusun sebagai panduan berbentuk Standar Akuntansi bagi pegawapemerintah desa. Siapa dan bagaimana yang akan menyusun standar akuntansi. Meski dalam aturan UU, jelas bahwa KSAP sudah diberi peran dan mandat untuk menyusun standar akuntansi pemerintahan (SAP). Jika bicara pemerintahan maka lingkupnya Pemerintah Pusat dan pemerintah tempat. Namun alasannya adalah kesantunannya, KSAP ingin mengajak bicara agar keputusan yang diambil ownershipnya disemua regulator. Apakah implikasinya kemudian desa itu tidak akan diaudit jikalau tidak ada standar? Jika desa merupakan entitas sendiri yang terpisah dari kabupaten/kota, suka tidak suka harus diaudit. KSAP meneruskan planning yang telah dilakukan. Rencana untuk terus melakukan konsultasi pada stakeholder akan terus dilakukan. Pada saatnya nanti kalau akan dilakukan public hearingtentu akan disampaikan kepada stakeholder.

Bahwa kita melihat adanya fenomena dana-dana dari pemerintah ke desa. Aturan-aturan yang telah dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri perlu dipayungi oleh standar. Praktik yang ada harus ada standarnya. Secara Undang-undang, standar akuntansi pemerintahan (SAP) disusun oleh Komite Standar. Dari sudut pandang proses, KSAP sudah menyiapkan tim dan melaksanakan riset sebagai persiapan menyusun standar akuntansi pelaporan keuangan desa. Sebagai langkah selanjutnya, KSAP ingin memastikan bahwa setiap stakeholder mempunyai kesamaan pendapat dan pikiran. Bahwa KSAP sudah menghubungi Dirjen Bina Pemerintahan Desa, untuk bantu-membantu mendorong akuntabilitas di desa. Pertanggungjawaban keuangan desa diatur dalam Permendagri Nomor 113 Tahun 2014, namun belum ada standarnya. Bagaimana kita menyamakan persepsi perlu atau tidak menciptakan standar. Bahwa Permendagri telah mengatur mengenai penatausahaan keuangan dan aset desa, suatu praktik yang mengarah pada sistem di desa.

Bahwa desa ialah entitas pelaporan. Dalam kerangka konseptual jelas disebutkan yang membedakan entitas akuntansi dan entitas pelaporan. Salah satu ciri dari entitas pelaporan bahwa pemimpinnya dipilih melalui pemilihan, terlepas bagaimana nanti auditnya. Desa itu yaitu entitas pelaporan ada pada Paragraf 11 PSAP 11. Sebagai entitas pelaporan yakni dibiayai oleh APBN/APBD, dibentuk dengan peraturan perundang-seruan, pimpinan yakni pejabat pemerintah yang diangkat dan dipilih oleh rakyat, entitas membuat pertanggungjawaban, baik langsung atau tidak pribadi kepada wakil rakyat.

Mengapa perlu Standar Pelaporan Keuangan Desa. Untuk desa dibentuk standar sendiri, namun, jika setara Standar ETAP  DSAK-IAI mungkin terlalu tinggi, lebih tepat selevel dengan standar akuntansi UMKM yang disusun IAI. Laporan ini akan menunjukkan citra perihal performance namun hanya highlight. Tidak cukup dari sisi keuangan, ada kinerja kunci dari laporan keuangan ini. Mungkin cover muka 1-2 lembar cerita apa yang dikerjakan desa dalam aspek kinerja.


Mengapa Perlu Standar Pelaporan Keuangan Desa:
  1. Desa melakukan pengelolaan keuangan desa dan menciptakan pertanggungjawaban;
  2. Terdapat alokasi Dana Desa dari Pemerintah Pusat maupun Pemda;
  3. Tuntutan akuntabilitas dari masyarakat atas pengeloaan keuangan Desa;
  4. Desa yakni unit pemerintahan daerah terkecil, sebagai bab integral dari akuntansi pemerintah tempat Kabupaten atau Kota dalam NKRI, maka pertanggungjawaban keuangan Desa sebaiknya diatur secara nasional.
  5. Akuntabilitas merupakan salah satu asas dalam penyelenggaraan Desa.


Dari perspektif Kementerian Dalam Negeri, Kemendagri telah menciptakan Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 ihwal Pengelolaan Keuangan Desa dan Permendagri Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa. Desa berkewajiban untuk memberikan laporan desa (LRA dan neraca) untuk dievaluasi oleh Kabupaten/Kota. Laporan Keuangan Desa lepas, tidak terintegrasi dan tidak digabungkan, dilampirkan juga tidak. Dalam perspektif seperti itu, desa tidak diletakkan sebagai entitas akuntansi namun entitas pelaporan. Yang minus dari regulasi yakni standar. Betul-betul gres dalam tataran sistem dan prosedur, standar pelaporan keuangan desa belum ada. Peraturan Desa ada dua ; ialah Peraturan wacana APBDes yang dibentuk dengan Badan Permusyawaratan Desa dan peraturan perihal pelaporan keuangan Desa. Permendagri memang tidak menyinggung wacana audit dan standar, hanya terbatas pada sistem.

Jika dilihat dari naturenya – transaksi bisnis pendapatan dan belanja – pemerintah desa itu independen, desa sebagai entitas pelaporan. Terpisah dari entitas kabupaten/kota. Dari sisi peraturan perundang-seruan, desa sebagai pemerintah tersendiri. Bahkan proses penganggarannya pun ada tubuh tersendiri. Makara tidak masuk dalam APBD Kab/Kota. Dalam peraturan disebutkan bahwa pertanggungjawaban sampai pelaporannya di Menteri Dalam Negeri. Namun, tidak ada pernyataan harus diaudit oleh BPK dan tidak dibilang disusun sesuai standar. Hal itu menjadi salah satu lubang dari sisi peraturan perundang-permintaan. Aspek ketiga adalah kapasitas. Adanya Standar Pelaporan Keuangan Desa biar ada contoh dalam membuat laporan keuangan desa. Jika berbentuk standar, KSAP harus melihat PSAP Nomor 01, Kerangka Konseptual dan melihat lagi hukum Pemerintah, apakah ada pembatasan ruang lingkup atau mampu dibentuk standar sendiri. Walaupun di bawah kabupaten/kota tapi desa merupakan entitas sendiri yang mampu berdiri diatas kaki sendiri. Kekhawatiran jikalau tidak ada hukum/standar – mirip pemerintah pada saat pertama kali membuat laporan keuangan – repot dalam mengisi angka-angka di neraca. Terakhir ihwal kapasitas desa, jangan hingga akuntansi justru membebani penyelenggaraan pembangunan di desa. Jangan sampai sumber daya di desa habis untuk menyusun laporan keuangan saja. Desa merupakan entitas independen dan entitas pelaporan maka harus diaudit. Yang masih jadi pertanyaan, mengapa pertanggungjawabannya ke kabupaten/kota, seharusnya pertanggungjawaban keuangan desa disampaikan kepada semacam dewan perwakilan rakyat/Badan Permusyawaratan Desa.

Perlunya standar pemerintah desa lebih sempurna ditanggapi oleh Ditjen Bina Pemerintahan Desa sebagai end user. Dulu desa hanya mengelola 50 juta, namun sekarang mengelola hampir 800 juta. Terjadi gungangan budaya (culture shock) dalam pemerintahan desa Gubernur Jawa Timur sampai menyampaikan kepada pegawanegeri desa supaya tidak takut memakai dana desa. Jika dibuat standar maka standar tidak terlalu tinggi dan perlu pentahapan. Jangan sampai uang di desa itu habis untuk konsultannya.

NKRI perlu standar desa dan harus ada opini dari BPK untuk Laporan Keuangan Desa. Bahwa Desa merupakan entitas independen bukan bab dari kabupaten/kota. Berita baik bagi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, bahwa opininya tidak dipengaruhi oleh Laporan Keuangan Desa. Independensi desa menjadikan tidak dikaitkan dengan kabupaten/kota. Apabila laporan keuangan desa dilampirkan juga indah, tapi tanpa imbas opini atas kabupaten/kota.

Standar Laporan Keuangan Desa sebaiknya dibuat seringan mungkin. Mengambil nasihat bahwa standar syariah dan standar ETAP tidak perlu memakai fair value accounting seperti SAK (besar), Laporan Keuangan desa tak perlu akrual paripurna, apabila KSAP nanti setuju membuat sebuah set standar lebih sederhana seperti Standar ETAP dibanding SAK (besar). KSAP selalu berjuang untuk tidak mempersulit desa, sebaliknya kalau dapat Standar Laporan Keuangan Desa meningkatkan kedigdayaan desa – sebagai ujung tombak NKRI. Dalam sejarah pembangunan standar, KSAP selalu bersinergi dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri. Terkait akuntansi pemerintahan, semua pihak sadar, bahwa derajat dari Peraturan Pemerintah (Standar) akan mengungguli Peraturan Menteri. Maka jikalau ada perbedaan maka Peraturan Menteri tersebut diamandemen sesuai dengan Peraturan Pemerintah (Standar). Dalam praktik yang ada sebelumnya, sudah biasa Peraturan Menteri muncul lebih dahulu daripada Peraturan Pemerintah.

Konsultan akuntansi desa sebaiknya dibatasi, jangan hingga konsultan oportunis yang memanfaatkan kesempatan anutan dana desa. Desa membutuhkan aplikasi/sistem akuntansi gratis.

Masalah sumber daya, sebagai masalah utama, APBDes mampu mengalokasikan dana pengadadaan SD Desa. Untuk pengadaan SDM, desa mungkin mampu mempekerjakan akuntan khusus yang mengurus pelaporan desa.

Gagasan pembuatan Standar Akuntansi Desa. Bahwa terkait standar pelaporan keuangan desa menurut Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi harus melihat SDM yang ada di desa, karena itu seyogyanya standar yang dibuat mewakili desa dari Sabang hingga Merauke. Bahwa Laporan Keuangan Desa itu penting, pelaporan keuangan tersebut tidak hanya sekedar pelaporan anutan dana APBN karena desa sendiri punya kepemilikan atas desa itu sendiri. Dalam pembangunan transparansi, siapa pun di desa dan masyarakat dapat melihat laporan tersebut. Standar akuntansi & pelaporan memang harus sederhana. Kementerian Desa PDTT telah menyiapkan pendamping desa, untuk kabupaten ada 4-6 orang, kecamatan 2 orang, dan 1 orang untuk mendampingi 3 desa, sehingga standar akuntansi sederhana mampu disampaikan dan dilatihkan oleh para pendamping tersebut kepada pegawapemerintah dan kepala desanya.

BPKP telah bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri untuk menyebarkan Sistem Informasi Keuangan Desa (SISKEUDES). Dalam aplikasi sekali entry sumber dana mampu terinput. SISKEUDES telah diuji coba di Kabupaten Mamasa. Dirjen Bina Pemerintahan Desa mengeluarkan Surat Edaran (SE) ke seluruh Gubernur dan walikota untuk mengimplementasikan SISKEUDES ke seluruh desa. Jika KSAP ingin berdiskusi BPKP membuka tangan lebar.

KSAP dapat meneruskan rencana penyusunan Standar Akuntansi Pelaporan Keuangan Desa, dan biar dalam penyusunan standar  senantiasa berkoordinasi dengan para stakeholders keuangan Desa. Standar dibutuhkan sederhana sehingga gampang diterapkan oleh Desa.

Amar UU Keuangan Negara tentang Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual dan ihwal pendirian Komite Standar nan indipenden menghasilkan PP 24/2005 dan PP 71/2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). UU Keuangan Negara tidak memberi batasan ihwal entitas Laporan Keuangan. Pada tahun 2003 KSAP menetapkan entitas pelaporan Laporan Keuangan adalah pemerintah sentra dan pemerintah tempat, yaitu kementerian, lembaga nonkementerian, kabupaten dan kota.

Desa dan kelurahan tidak disebut-sebut secara eksplisit dalam SAP umumnya, pada konsep entitas akuntansi dan/atau entitas pelaporan Laporan Keuangan Pemerintahan khususnya.  Rancang berdiri SAP secara eksplisit mewajibkan pemerintah pusat cq kementerian, lembaga negara non kementerian, pemerintah tempat cq kabupaten dan/atau kota mandiri.

SAP sebaliknya, juga tidak menyebut secara eksplisit bahwa entitas Desa dan Kelurahan berada di luar ruang lingkup peran KSAP.

Sejak awal (yaitu 2003), KSAP menyadari bahwa desa (sekitar 72.944 desa), kelurahan (8.309 kelurahan)  dan dusun (mungkin sekitar 150.000 dusun) merupakan bagian integral pemerintah kawasan otonom. Pada cetak biru atau rancang bangkit 2003 menuju PP 24/2005,  KSAP memilih batas terbawah entitas yakni Kabupaten dan Kota, bukan desa apalagi dusun, dengan pertimbangan sebagai berikut:
  • Sebuah standar akuntansi harus mencakupi berbagai acara keuangan entitas Laporan Keuangan. Karena itu dasar standar yaitu entitas yang diwajibkan melakukan standar. KSAP membatasi dengan sengaja pada tataran KL, Kabupaten dan Kota saja.
  • KSAP secara sengaja tidak menyebut-nyebut desa sebagai batasan entitas Laporan Keuangan karena menengarai senjang kemampuan desa untuk tatakelola keuangan dan perbendaharaan. Apabila Desa berdampingan dengan K/L, Kabupaten/Kota dipertimbangkan sebagai entitas dalam rancang berdiri PP 24/2005, maka desain tiap nomor PSAP (dengan memertimbangkan ukuran dan SD Desa yang jauh lebih kecil dari Kabpuaten/ Kota) menjadi mustahil dilakukan (impossible design).
  • Sebaliknya, tingkat resistensi pelaku akuntansi dan KL membawahi pemda akan optimal, apabila pada PP 24/2005 SAP telah mewajibkan desa untuk mengikuti PP tersebut, dipastikan berakibat SAP akan ditolak untuk diterapkan. Dugaan tersebut amat benar, alasannya adalah tanpa memasukkan entitas desapun terjadi resistensi tinggi penerapan PP 24/2005 pada aneka macam kabupaten atau kota.
  • Terdapat kemungkinan besar BPK akan menolak bakalan PP 24/2005 apabila Desa masuk sebagai entitas Laporan Keuangan.
  • Perlu dicatat, ada periode 2005/2010, desa masih berstatus obyek, bukan subyek pembangunan. Dengan UU Desa 2014, Desa menjadi subyek, menjadi bintang film pembangunan NKRI.

Pada kala waktu 2007-2010, rancang bangkit bakalan PP 71/2010 akrual disusun KSAP berdasar pemantauan KSAP akan tingkat keterterapan PP 24/2005 pada tataran K/L, Kabupaten dan Kota, disimpulkan bahwa penerapan SAP belum memuaskan, belum merata, belum diterapkan sebagian entitas, dan perolehan opini WTP masih amat sedikit. Hal ini menjadikan PP 71/2010 juga belum memasukkan Desa dalam definisi entitas.

Tujuan utama KSAP yaitu supaya seluruh entitas pelaporan berbentuk K/L dan Pemerintah Daerah (belum termasuk desa) mampu menerapkan PP 24/2005 dan selanjutnya bisa melakukan akuntansi berbasis akrual mulai tahun buku 2015.KSAP bekerja keras melengkapi PSAP dan memberi sarana kemudahan dengan pembuatan berbagai buletin teknis.

Tiba datang pada tahun 2014/2015  muncul fenomena baru adalah (1) dewan perwakilan rakyat mengesahkan UU Desa, (2) Kabinet mendirikan Kementerian Desa dan (3) alokasi APBN kepada desa. Maka muncul kebutuhan sarana pertanggungjawaban  keuangan desa, mungkin dalam bentuk Administrasi Keuangan atau Perbendaharaan Desa atau Standar Akuntansi Pemerintah Desa.

Risalah urgensi sebuah Standar Akuntansi Pemerintah Desa:
  1. Bahwa pembangunan GCG pemerintah Desa yaitu perwujudan pemerintahan NKRI berbasis tatakelola nan baik dan UU Desa.
  2. Bahwa pertanggungjawaban keuangan Desa sesuai UU Keuangan Negara, Perbendaharaan, Pemeriksaan Keuangan Negara umumnya, alokasi APBN kepada Desa khususnya merupakan tolok ukur sukses PP dan Pemerintahan Daerah.
  3. Bahwa pertanggungjawaban Keuangan Desa termasuk dalam pertanggungjawaban pemerintah daerah, sebab itu harus selaras dengan Laporan Keuangan Pemerintahan cq Standar Akuntansi Pemerintah NKRI.
  4. Agar sinkronisasi Pelaporan Keuangan Desa dgn Laporan Keuangan pemerintahan selebihnya, pengaturan pertanggungjawaban keuangan Desa harus dirumuskan dalam  bentuk Standar.
  5. Bahwa KSAP harus melakukan peran tersebut dalam tempo sesingkat – singkatnya dalam bentuk PSAP Desa dalam rumpun PP 71 Akuntansi Pemerintahan.
Lima Belas alasan mengapa KSAP sebaiknya diminta pemangku kepentingan untuk menyusun PP tentang Akuntansi keuangan Desa adalah sebagai berikut :
  1. Karena KSAP satu-satunya standard setter SAP NKRI didirikan berdasar UU Keuangan Negara, alasannya adalah Desa yaitu unit pemerintahan kawasan terkecil, sebagai bab integral dari akuntansi pemerintah tempat Kabupaten atau Kota dalam NKRI, maka pertanggungjawaban keuangan Desa sebaiknya diatur oleh sebuah PSAP dalam SAP yang telah memberi standar akuntansi bagi Kabupaten/Kota.
  2. Pertanggungjawaban keuangan desa sudah diatur dalam UU Desa, yang akan menjadi dasar penyusunan PSAP Desa. Terdapat dua kemungkinan PSAP Desa, (1) PSAP wacana Laporan Keuangan Desa, atau (2) PSAP wacana Pertanggungjawaban Keuangan Desa sebagai Lampiran Laporan Keuangan Kabupaten/Kota.
  3. Sinkronisasi hukum akuntabilitas desa dengan SAP adalah penting, sebab terdapat kemungkinan Laporan Keuangan Desa dilampirkan kepada Laporan Keuangan Kabupaten atau Laporan Keuangan Kota Mandir, apabila KSAP memutuskan Laporan Keuangan Desa dalam PSAP Desa.  
  4. Apabila terdapat kemungkinan Desa tidak menciptakan Laporan Keuangan Desa, apabila KSAP – dalam PSAP Desa  –  menetapkan Pertanggungjawaban Administrasi Keuangan Desa sebagai lampiran Laporan Keuangan Kabupaten/Kota.
  5. Agar akuntansi Desa terintegrasi dengan SAP, adalah agar akuntansi desa koheren, serasi, tidak bertentangan dengan SAP,PSAP atau Buletin Teknis. Apabila penyusun standar akuntansi desa bukan KSAP, maka muncul dua standard setter akuntansi pemerintahan, yang tak selalu mampu seiring sejalan, akan menjadi fenomena jelek bagi NKRI. Apabila sebuah kementerian berinisiatif membangun ajaran akuntansi desa, atau sistem akuntansi desa, dikhawatirkan rancang bangun tersebut tak selaras dengan SAP dan Buletin teknis PSAP. Karena peserta amar UU Keuangan Negara untuk urusan akuntansi pemerintahan yaitu sebuah komite yang dibentuk pemerintah NKRI cq KSAP, maka sebaiknya pertanggungjawaban keuangan desa berderajat PSAP.
  6. Apabila diserahkan kepada KSAP, draft PSAP Desa akan ( sesuai UU Keuangan Negara) menerima pertimbangan BPK sebelum disahkan KSAP, alasannya adalah itu memeroleh legitimasi sesuai UU Keuangan Negara.
  7. Apabila diserahkan kepada KSAP, maka proses penyusunan akan sesuai dengan due process KSAP yang mencakupi dengar pendapat publik dan gugus kendali mutu paripurna, sebelum disahkan sebagai standar.
  8. Apabila diserahkan kepada KSAP, pengaturan perihal keuangan desa tersebut berderajat Peraturan Pemerintah yang berlegitimasi & diakui lintas K/L dan pemerintah tempat. Standar Akuntansi Desa tidak mungkin dibuat suatu kementerian.
  9. KSAP telah berpengalaman dalam penyusunan dan memikul beban etika dan teknis akhir pemberlakuan suatu produk KSAP sepanjang 10 tahun, sehingga merupakan forum paling ideal di Indonesia untuk ditugasi menyusun peraturan akuntansi dan pelaporan keuangan Desa.
  10. Kemampuan akuntansi dan bahasa adalah utama. Penyusunan suatu produk hukum berdimensi akuntansi membutuhkan kumpulan pakar (1) berpengetahuan standar akuntansi dunia dan NKRI, (2) berpengalaman praktik akuntansi pemerintahan sebagai pekerjaan sehari hari, dan (3) berkesadaran bahasa nan tinggi, mengetahui konsekuensi pembuatan kalimat dan berkemampuan menentukan kosakata akuntansi dan kosakata hukum tatanegara. Kumpulan pakar tersebut terbagi menjadi Komite Konsultatif, Komite Kerja, Kelompok Kerja, Manajemen KSAP berjumlah kurang lebih 50 orang melalui seleksi ketat perilaku negarawan nan berhati hati dan kepakaran akuntansi yang kemudian dibuktikan oleh  IKU dan IKI nan memuaskan.
  11. Sepanjang hampir 15 tahun KSAP biasa bekerja sepenuh tahun, dengan pertemuan minimum mingguan, biasanya hari Rabu, sehingga rancang bangkit PSAP Desa dipastikan berkualitas. KSAP mengadakan rapat luar bniasa, temuwicara dengan pemangku kepentingan, dalam contoh tidak dipastikan, sepanjang tahun. Dengan demikian, aspirasi dan kesulitan lapangan dari kepala Desa dan aparatnya, dapat ditampung oleh KSAP.
  12. Dari aspek tabiat dan budbahasa, KSAP memenuhi syarat sebagai petugas penyusun akuntansi dan pelaporan keuang desa karena persyaratan indipendensi dari kepentingan kelompok (jabatan, K/L atau Pemerintah Daerah kawasan kerja) atau langsung (vested interest), mengakibatkan rancang bangun produk berciri penekanan kepentingan nasional NKRI.
  13. Pada waktu UU Desa terbit tahun 2014, Ketua KSAP meminta studi pustaka, studi lapangan dan naskah akademis perihal keuangan Desa, sebagian sudah dimuat pada majalah maya KSAP. Dengan demikian, KSAP sekarang berada dalam posisi siap ditugasi  untuk menyusun PSAP Desa. Sesuai butir 7 tersebut di atas, KSAP akan melaksanakan Dengar Pendapat Publik untuk menampung aneka macam aspirasi  sebagai bahan penyusunan dan/atau finalisasi PSAP Desa. Di dalamnya termaktub kepedulian dan pertimbangan KSAP akan kondisi SDM Desa, besar desa, endowmen desa dan besar ajaran APBN pertahun ke desa.
  14. Apabila KSAP tidak mengatur dan/atau menciptakan PSAP Desa, KSAP berwenang untuk menciptakan BuletinTeknis PSAP CALK perihal Informasi Keuangan Desa Yang Wajib Dilaporkan dalam Laporan Keuangan cq  CALK Kabupaten.
  15. Dalam tugasnya, KSAP akan selalu berkoordinasi dengan Kemenkeu, Kemendagri dan Kementerian Desa sedemikian rupa biar PSAP Desa menjadi semacam nota kesepahamanan ihwal pertanggungjawaban keuangan desa.

Siklus Pengelolaan Keuangan Desa
 ***



Diberdayakan oleh Blogger.
 
Top