Ilustrasi
Keuangan Desa dalam Undang-Undang (UU) Desa diatur pada Bab VIII ihwal Keuangan Desa dan Aset Desa yang terdiri dari beberapa pasal. Secara umum, pembahasan mengenai keuangan desa dapat dikelompokkan menjadi beberapa lingkup, ialah: 1. Lingkup Keuangan Desa, 2. Pendapatan Desa, 3. Belanja Desa, 4. Penatausahaan Keuangan Desa, dan 5. Aset Desa.

Pada artikel Keuangan Desa dan Aset ini, pengaturan wacana keuangan desa akan dibahas secara komprehensif dengan tujuan supaya memperoleh pemahaman yang menyeluruh mulai dari latar belakang sampai maksud dari pengaturan mengenai keuangan desa.

Dalam proses pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, perdebatan terbesar terjadi pada rancangan pasal yang mengatur mengenai pendapatan desa, khususnya Pasal 72. Pasal ini mendapatkan porsi paling intensif dalam proses pembahasan. Sutoro Eko (2014) mengutip pernyataan dari Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Desa, Ahmad Muqowwam, menyatakan bahwa jika UU Desa diperas menjadi satu pasal, maka pasal itu yakni pasal 72 yang berisi sumber-sumber pendapatan Desa.

Pembahasan mengenai alokasi dana dari APBN untuk Desa memperoleh perbedaan pendapat. Pemerintah mengusulkan pendanaan desa dari APBN sebagai bab dari perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota. Fraksi-fraksi terpecah dalam menyikapi tawaran Pemerintah. Sebagian menghendaki adanya alokasi dengan prosedur prosentase, sedangkan yang lain menyepakati sebagai bagian dari perimbangan keuangan sentra dan daerah.

Kondisi sebaliknya terjadi pada saat pembahasan mengenai belanja desa. Tidak terjadi perdebatan sama sekali di DPR pada ketika membahas mengenai belanja desa.

1. Lingkup Keuangan Desa

Lingkup Keuangan Desa dibahas dalam Pasal 71 UU Desa. Pasal ini membatasinya dengan semua hak dan kewajiban yang menyebabkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan keuangan desa.

Jika merujuk pada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang keuangan, yaitu UU No. 17 Tahun 2003 perihal Keuangan Negara, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 33 Tahun 2004 perihal Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 ihwal Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, maka tidak ada bab yang secara khusus mengatur perihal Keuangan Desa. Pengaturan hanya hingga di tingkat kabupaten/kota. Desa hanya dianggap sebagai bab dari kabupaten/kota.

Pasal lain terkait hal ini yaitu pasal 73 yang mengatur mengenai struktur APB Desa, yang terdiri dari pendapatan, belanja, dan pembiayaan Desa. Rancangan APB Desa diajukan oleh Kepala Desa dan kemudian dimusyawarahkan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan akibatnya ditetapkan dalam bentuk Peraturan Desa.

Pasal 71
(1) Keuangan Desa yaitu semua hak dan kewajiban Desa yang mampu dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang bekerjasama dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa.
(2) Hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebabkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan Keuangan Desa.
Penjelasan
Cukup Jelas
Pasal 73
(1) Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa terdiri atas bagian pendapatan, belanja, dan pembiayaan Desa.
(2) Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa diajukan oleh Kepala Desa dan dimusyawarahkan bersama Badan Permusyawaratan Desa.
(3) Sesuai dengan hasil musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Desa menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa setiap tahun dengan Peraturan Desa.
Penjelasan
Cukup Jelas

Pembahasan di dewan perwakilan rakyat
Dalam pembahasan Pasal 71 dan 73 di dewan perwakilan rakyat tidak ditemui polemik. Pasal ini diusulkan oleh Pemerintah, namun tak mendapatkan masukan dari anggota dewan perwakilan rakyat yang hadir dalam pembahasan. Pasal ini menjelaskan lingkup keuangan desa dalam perspektif hak dan kewajiban.

Sebelumnya, regulasi yang mengatur tentang keuangan desa yakni PP No. 72 Tahun 2005 perihal Desa yang merupakan hukum turunan dari UU No. 32 Tahun 2004. Substansi yang diatur di PP No. 72/2005 ini relatif sama dengan substansi di UU Desa.  Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengaturan wacana keuangan Desa ini yakni menaikkan status aturan dari Peraturan Pemerintah menjadi Undang-Undang.

Tanggapan-Tanggapan :
  • Ketentuan Mengenai Ruang Lingkup Keuangan Desa Tidak Jelas
    Pasal 71 ayat (2) menyebutkan bahwa ruang lingkup keuangan Desa yaitu pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan keuangan Desa. Pendapatan, belanja, pembiayaan merupakan ruang lingkup kalau didasarkan pada objek, sedangkan frasa "pengelolaan keuangan Desa" biasanya merujuk pada proses pengelolaan keuangan, yang terdiri dari penyusunan anggaran, pelaksanaan anggaran dan pertanggungjawaban anggaran. Jika kedua kategori (menurut obyek dan proses) ini digabung, maka terlihat tidak setara alasannya adalah objek dari pengelolaan keuangan Desa adalah pendapatan, belanja dan biaya. Selain itu, di bab Penjelasan Umum, sub judul yang ada yaitu "sumber pendapatan desa", dan tidak ada sub judul tentang "keuangan desa" sehingga tidak diperoleh informasi perhiasan mengenai justifikasi ruang lingkup keuangan Desa yang terdapat di pasal Pasal 71 ayat (2).

    Jika dibandingkan dengan UU No. 17 Tahun 2003, maka ruang lingkup diatur secara jelas di dalam Pasal 2, yang mencakup:

    1. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pemberian;
    2. kewajiban negara untuk menyelenggarakan peran layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
    3. Penerimaan Negara;
    4. Pengeluaran Negara;
    5. Penerimaan Daerah;
    6. Pengeluaran Daerah;
    7. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan kawasan;
    8. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan peran pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
    9. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

    Sedangkan dari sistematika penulisan ketentuan mengenai keuangan tempat, UU No. 17 Tahun 2003 membaginya menjadi tiga tahapan utama pengelolaan keuangan tempat, ialah; (1) penyusunan dan penetapan anggaran; (2) pelaksanaan anggaran; dan (3) pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran.

  • Materi Ketentuan Mengenai Keuangan dan Aset Desa Kurang Lengkap
    Ketentuan mengenai Keuangan dan Aset Desa masih dalam kondisi sebagai berikut:

    1. tidak adanya ketentuan mengenai pembiayaan. Pasal 71 ayat (2) menyebutkan ruang lingkup keuangan desa yaitu pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan keuangan Desa. Ketentuan mengenai pendapatan terdapat di Pasal 72, dan ketentuan mengenai belanja terdapat di Pasal 74, sedangkan Pasal 75, Pasal 76 dan Pasal 77 mengatur bahan yang berbeda, adalah perihal Kepala Desa sebagai pengelola keuangan Desa dan aset Desa. Kondisi ini berbeda dengan UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 32 Tahun 2004 yang mengatur perihal pembiayaan.
    2. tidak adanya ketentuan mengenai tahun anggaran Desa, Apakah sama atau berbeda dengan tahun anggaran yang dimuat di UU No. 17/2003 dan UU No. 32/2004. Pasal 4 No. 17/2003 menyebutkan bahwa "tahun Anggaran mencakup periode satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember", sedangkan UU No. 32 Tahun 2004 pasal 179 menyebutkan bahwa "APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember". Sementara UU Desa tidak menyebutkan secara eksplisit wacana tahun anggaran desa.
    3. tidak memadainya ketentuan mengenai proses penyusunan APB Desa. Pasal 73 menjelaskan bahwa penyusunan rancangan APB Desa dilakukan oleh kepala desa dan dimusyawarahkan bersama Badan Permusyawaratan Desa, namun tidak ada ketentuan mengenai kapan dan bagaimana penyusunan rancangan APB Desa dan musyawarah dengan BPD dilakukan serta tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai keterlibatan warga di dalam proses penyusunan APB Desa. Di UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 32 Tahun 2004 juga tidak menjelaskan secara rinci proses dan waktu penyusunan APBN/APBD, namun setidaknya ada ketentuan yang mengatur perihal kapan dan bagaimana penyusunan APBN/APBD.

    Ketidaklengkapan bahan di dalam UU Desa ini berpotensi multi tafsir di dalam pelaksanaannya dan kondisi ini perlu menjadi pertimbangan di dalam menyusun aturan pelaksanaannya.

2. Pendapatan Desa


Money follow function ialah prinsip yang dapat menjelaskan posisi dari keuangan desa ini. Undang-Undang Desa telah menegaskan akreditasi negara atas Desa melalui asas rekognisi dan subsidiaritas yang menjadikan adanya legalisasi atas kewenangan menurut hak asal undangan dan kewenangan skala lokal desa.

Pemberian kewenangan ini harus diikuti dengan penyerahan sumber daya kepada Desa agar kewenangan yang dimiliki mampu dilaksanakan dengan baik. Atas dasar inilah Desa memiliki sumber-sumber pendapatan Desa sebagai hak Desa yang selanjutnya harus dikelola dengan sebaik-baiknya untuk melaksanakan kewajiban Desa yang tercermin dari isi Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).

Sumber pendapatan Desa diatur dalam Pasal 72. Melalui ketentuan ini Desa berhak untuk menerima 10% dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sesudah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK), di samping sumber-sumber pendapatan lain.
Pasal 72
(1) Pendapatan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) bersumber dari:
a. pendapatan asli Desa terdiri atas hasil perjuangan, hasil aset, swadaya dan partisipasi, bahu-membahu, dan lain-lain pendapatan asli Desa;
b. alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
c. bab dari hasil pajak tempat dan retribusi kawasan Kabupaten/Kota;
d. alokasi dana Desa yang merupakan bab dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota;
e. pemberian keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah  Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja DaerahKabupaten/Kota;
f. hibah dan dukungan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan
g. lain-lain pendapatan Desa yang sah.
(2) Alokasi anggaran sebagaimana dimaksud padaayat (1) karakter b bersumber dari Belanja Pusat dengan mengefektifkan acara yang berbasis Desa secara merata dan berkeadilan.
(3) Bagian hasil pajak tempat dan retribusi tempat Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud padaayat (1) huruf c paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari pajak dan retribusi kawasan.
(4) Alokasi dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) aksara d paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sehabis dikurangi Dana Alokasi Khusus.
(5) Dalam rangka pengelolaan Keuangan Desa, Kepala Desa melimpahkan sebagian kewenangan kepada perangkat Desa yang ditunjuk.
(6) Bagi Kabupaten/Kota yang tidak memperlihatkan alokasi dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah mampu melakukan penundaan dan/atau pemotongan sebesar alokasi dana perimbangan sesudah dikurangi Dana Alokasi Khusus yang seharusnya disalurkan ke Desa.
Penjelasan
Pasal 72
Ayat (1)
Huruf a: Yang dimaksud dengan "pendapatan orisinil Desa" yaitu pendapatan yang berasal dari kewenangan Desa menurut hak asal undangan dan kewenangan skala lokal Desa.Yang dimaksud dengan "hasil perjuangan" termasuk juga hasil BUM Desa dan tanah bengkok.
Huruf b: Yang dimaksud dengan "Anggaran bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tersebut" yakni anggaran yang diperuntukkan bagi Desa dan Desa Adat yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota yang digunakan untuk membiayai penyelenggaran pemerintahan, pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan.
Huruf c: Cukup jelas
Huruf d: Cukup jelas
Huruf e: Cukup terang
Huruf f: Cukup terperinci
Huruf g: Yang dimaksud dengan "lain-lain pendapatan Desa yang sah" yakni antara lain pendapatan sebagai hasil kolaborasi dengan pihak ketiga dan derma perusahaan yang berlokasi di Desa.
Ayat (2)
Besaran alokasi anggaran yang peruntukkannya langsung ke Desa ditentukan 10% (sepuluhperseratus) dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara sedikit demi sedikit. Anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dihitung menurut jumlah Desa dan dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan Desa.
Ayat (3)
Cukup terperinci
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup terperinci
Ayat (6)
Cukup jelas

Pembahasan di dewan perwakilan rakyat
Dalam proses pembahasan di dewan perwakilan rakyat, pasal 72 yakni pasal yang paling intensif dibahas. Sutoro Eko (2014) mengutip pernyataan dari Ketua Pansus RUU Desa, Ahmad Muqowwam, bahwa jikalau UU Desa diperas menjadi satu pasal, maka pasal itu adalah Pasal 72 yang berisi sumber-sumber pendapatan Desa.

Perdebatan pertama terjadi pada pengaturan mengenai bab dari bagi hasil pajak tempat dan retribusi tempat kabupaten/kota. Rumusan awal dari pemerintah tidak mencantumkan prosentase khusus dari bagi hasil pajak daerah dan retribusi tempat yang menjadi hak Desa. Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PKB mengusulkan besaran prosentase 10% dari hasil pajak kawasan dan retribusi daerah kabupaten/kota menjadi hak Desa. Besaran prosentase ini untuk menjamin prinsip keadilan pembagian dan menunjukkan kepastian keberpihakan pemerintah di atasnya kepada Desa dari sisi pendanaan. Sedangkan Fraksi PDIP, Fraksi PKS, Fraksi PAN, Fraksi PPP Fraksi Gerindra mengusulkan tetap (sesuai rumusan awal dari pemerintah).

Perdebatan berikutnya dan yang paling panjang terjadi pada ketentuan yang mengatur bab dari perimbangan keuangan pusat dan tempat yang diterima oleh kabupaten/kota. Rumusan awal dari pemerintah berbunyi "c. bagian dari perimbangan keuangan pusat dan kawasan yang diterima oleh kabupaten/kota" dan tidak mencantumkan prosentase khusus dari bab dari perimbangan keuangan sentra dan kawasan yang diterima oleh kabupaten/kota yang menjadi hak Desa. Sedangkan pandangan fraksi-fraksi terbagi menjadi tiga, adalah :

  1. Ada prosentase tertentu dari APBN. Beberapa fraksi, yaitu Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai PPP dan Fraksi Partai PKB, mengusulkan adanya prosentase dengan besaran yang berbeda. Fraksi Partai Demokrat mengusulkan "Alokasi Dana Desa sebesar 5% yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara" dengan alasan untuk menyebabkan desa sebagai subyek pembangunan.

    Fraksi Partai PPP mengusulkan Alokasi Dana Desa (ADD) sebesar paling sedikit 20% APBN dengan alasan ADD selama ini telah menunjukkan banyak manfaat, namun memiliki beberapa kekurangan, yaitu: pertama, ADD dialokasikan dari "sisanya sisa APBD" sehingga jumlahnya terlalu kecil. Kedua, sekitar 60% (seharusnya 100%) kabupaten/kota sudah menunjukkan ADD kepada desa, tetapi mayoritas kawasan tidak taat pada ketentuan PP No. 72/2005. Banyak kabupaten/kota yang memperlihatkan ADD kurang dari 10% dari dana perimbangan. Di sisi lain, ADD tidak diserahkan secara penuh sebagai hak desa dengan model block grant, tetapi ADD dikontrol ketat oleh daerah dengan model specific grant. Ketiga, sebab ketentuan besaran ADD tidak fixed dan tegas, maka ADD menjadi alat politisasi dan arena pertengkaran antara desa dan kabupaten/kota.

    Sedangkan Fraksi PKB mengusulkan "alokasi Dana Desa sebesar paling sedikit 10% dari Pendapatan Dalam Negeri Netto (PDN Netto) yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara".

  2. Tidak mengusulkan prosentase, hanya mengusulkan perbaikan redaksi. Usulan perbaikan redaksi ini disampaikan oleh Fraksi PDIP dengan suara " c. bab dari dana perimbangan keuangan pemerintah dan kawasan yang diterima oleh kabupaten/kota."

  3. Menyetujui rumusan awal pemerintah. Pandangan ini disampaikan oleh Fraksi PKS, Fraksi PAN Fraksi Partai Hanura dan FraksiPartai Gerindra
  • Argumen yang menolak alokasi APBN untuk Desa
    Usulan adanya alokasi APBN untuk desa pada awalnya ditolak oleh Kementerian Keuangan dengan alasan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, adalah UU No. 33 Tahun 2004, sebagaimana dijelaskan oleh H. Sudir Santoso (Parade Nusantara) dalam RDPU I tanggal 24 Mei 2012, yang menyatakan,

    "Ketika kami melakukan RDPU dengan Pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Negara, Pak Kyai Muqowam, saya dibantah ahli. "Pak Sudir, tidak mampu, ada alokasi dana dari APBN langsung diberikan kepada desa". Mengapa? Karena itu bertentangan dengan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 yaitu wacana Sistem Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Yang dimaksud sentra dan daerah itu yakni kabupaten dan kota. Artinya, desa bukan pemangku anggaran."

    Hal yang sama disampaikan oleh pakar, Prof. Dr. Ryas Rasyid, MA pada RDPU VII tanggal 27 Juni 2012 yang menyatakan,

    " ... saya termasuk orang yang sangat skeptis jikalau ada alokasi dengan nominal tertentu untuk desa alasannya seperti yang Bapak bayangkan tadi, Bapak putuskan itu undang-undang hari ini ya besok lahir seribu desa gres, lusa dua ribu alasannya hanya Peraturan Daerah begitu dan apa alasan untuk tidak membuat itu sebab itu niscaya mampu uang begitu Pak. Jadi itu resikonya tinggi. Kalau saya cenderung begini, strategi pembangunan kita yang harus berbasis desa, sehingga alokasi anggaran untuk pembangunan desa ada, tetapi tidak berarti dikelola oleh pemerintah desa begitu Pak. Kaprikornus ada alokasi pembangunan desa. Nah itu memang harus ada satu penanganan khusus untuk membangun Indonesia dari desa. Alokasinya mampu lebih besar, tetapi bukan diberikan kepada kepala desa Pak. Kawin lagi Pak, jikalau dikasih uang banyak, niscaya itu. Makara mengerikan Pak."

    Praktik selama ini, desa menerima alokasi dari APBN untuk desa dalam dua bentuk, adalah program sektoral yang dilaksanakan oleh kementerian dan bab dari dana perimbangan yang diterima oleh Kabupaten/Kota. Oleh karena itu, perlu diperjelas posisi dari alokasi dari APBN untuk desa, sebagaimana disampaikan oleh Hemanto , S.E, M.M pada RDPU IX 10 Oktober 2012:

    " ... ini menjadi duduk perkara mendasar buat kita. Karena apa? Karena bila kita melihat, hampir dari semua kementerian, tidak semuanya, tapi hampir kebanyakan kementerian, alokasi dana acara-acara yang bersifat ke desa itu basis hitungannya yaitu desa. Ini kan juga harus kita pikirkan perimbangan keuangan ini nanti. Kalau misalnya masuk unsur contohnya sekian persen tertentu sumber keuangan desa itu dari APBN, sementara di kementerian lain juga ada mengalokasikan program-acara tertentu. Makara bisa kemungkinan itu yaitu dua sumber dari sumber yang sama.

    Kaprikornus menurut saya Pansus memang perlu mengkaji secara dalam, karena ini dampaknya kepada APBN juga, mengingat memang misalnya PNPM itu adalah anggaran dari APBN, itu masuk semuanya ke desa. Kemudian Bansos dari beberapa kementerian, itu masuknya juga ke desa. Kaprikornus kalau kita lihat desa ini bahwasanya aneka macam sumber keuangannya. Hanya persoalannya adalah konsolidasi keuangan di desa ini seperti apa. Sementara kita lihat pembangunan desa itu tidak begitu terkonsolidasi dengan baik."

  • Argumen yang mendukung alokasi APBN untuk Desa
    Terkait alasan pentingnya alokasi dari APBN untuk desa disuarakan oleh para pemangku kepentingan, salah satunya oleh H. Sudir Santoso (Parade Nusantara) dalam RDPU I tanggal 24 Mei 2012, yang menyatakan,

    " ... yang diperjuangkan oleh Parade Nusantara yaitu alokasi dana pembangunan desa dari APBN. Petani, orang miskin di desa, itu yakni pekerja keras. Mengapa mereka miskin? Mengapa desa miskin? Setelah kami pelajari Pak Kyai, ternyata ujung-ujungnya rakyat desa ini diperlakukan tidak adil dalam bidang anggaran. Oleh siapa? Oleh anggota dewan perwakilan rakyat RI. dewan perwakilan rakyat RI abad kemudian, Pak, bukan yang kini. Bukan Pak Kyai Muqowam. Diberlakukan tidak adil dalam kebijakan anggaran oleh Pemerintah sentra. Terbukti apa, mengapa dewan perwakilan rakyat RI terlibat? Mari kita buka APBN kita semenjak tahun 2009, 2010, 2011 dan 2012.

    Dengarkan, termasuk wartawan. APBN kita yang dibentuk oleh Pemerintah pusat dan DPR RI ini, jika aku boleh rata-rata minimal, setiap tahunnya sejak tahun 2009-2012 Rp 1.300 triliun. Ternyata sesudah diketok di dalam Sidang Paripurna, yang dinikmati oleh 71.862 desa dari Sabang sampai Merauke, diketok dengan perkiraan alokasi dana desa itu hanya Rp 17 triliun. Rp 17 triliun dari Rp 1.300 triliun artinya hanya 1,3%. Sementara di depan aku mengatakan, rakyat yang hidup di desa, rakyat Indonesia ini, 78%. Sangat tidak rasional, tidak proporsional. Kalau komunitas rakyat 78% ini hanya dikasih jatah 1,3%. Padahal waktu aku ngaji dengan Pak Muqowam namanya, kewajiban fakir miskin, anak yatim ketika menerima zakat mal dan zakat-zakat lain minimal itu adalah 2,5%. Artinya, Pemerintahan Pusat memandang rakyat desa ini lebih nista daripada yatim piatu, mukoroh wama sakin [fuqoro wal masakin].

    Itulah dasar Parade Nusantara meminta minimal 10%. Kalau 10% ini dikabulkan, berarti ada angka Rp 130 triliun, sebab keseluruhan APBN Rp 1.300 triliun, dikala dibagi 71 ribu desa sesuai dengan luas wilayah dan jumlah penduduk, rata-rata setiap tahun akan menerima Rp 1,3 miliar. Dan aku yakin, akan segera tumbuh dan berkembang perekonomian sehat di tingkat lini desa."

    Terkait dengan alokasi program-acara sektoral, Sutoro Eko dari IRE mengusulkan semoga anggaran yang selama ini digunakan untuk mendanai acara sektoral dikonsolidasi dan direalokasi menjadi sumber APBN yang diberikan kepada desa, sebagaimana disampaikan pada RDPU IX tanggal 10 Oktober 2012,

    " ... menurut perhitungan kami, itu selama ini sudah ada alokasi anggaran, tetapi sangat pecah-pecah, sangat terfragmentasi, terhitung ada sekitar 1,1 miliar di seluruh desa di Indonesia ini. Persoalannya ini melalui BLM-BLM, termasuk PNPM Mandiri. Karena itu tawaran kami bahwasanya bagaimana ini merelokasi, mengkonsolidasi kembali terhadap derma eksklusif-pinjaman eksklusif masyarakat itu dalam prinsip satu desa satu rencana satu anggaran.

    Kemudian ke depan itu tambah satu fasilitasi. Kaprikornus fasilitasinya tidak perlu banyak fasilitator dari banyak sekali macam acara. Ke depan bila ada program nasional, itu integrated dalam satu desa. Kaprikornus tidak perlu secara sektoral."

    Di sisi lain, Sutoro Eko (IRE) memberikan rasa optimisme bahwa Desa akan bisa mengelola dana dari APBN ini, sebagaimana disampaikan pada RDPU IX tanggal 10 Oktober 2012,

    "Di samping itu kita juga belajar dari PNPM itu mengenai tata kelola yang itu mampu kita kelola secara demokratis, secara transparan, sehingga titik kebocoran atau korupsi itu bisa kita cegah sedemikian rupa."



  • Menjawab Berbagai Kekhawatiran
    Ada banyak kekhawatiran akan terjadi penyimpangan dana oleh Kepala Desa dan Perangkat Desa, sebagamana yang disampaikan oleh Rusli Ridwan, M.Si (Fraksi PAN) pada RDPU VIII pada tanggal 28 Juni 2012, :

    " ... bila ADD ini diberikan dari APBN, bagaimana tata kelola keuangannya? Karena yang namanya sistem pemerintahan itu, itu hanya sampai kepada kabupaten/kota, tidak sampai desa. Akibatnya tata kelola juga hanya sampai kabupaten/kota. Lantas bagaimana itu tata kelolanya, keuangan, pertanggungjawabannya, dan sebagainya. Karena desa itu bukan struktur pemerintahan yang terendah. Karena dalam Undang-undang Dasar 1945, provinsi, kabupaten/kota, sampai situ, bagaimana tata kelolanya? Inilah kerumitan-kerumitan."

    Hal senada disampaikan oleh H. Abdul Malik Haramain pada RDPU VIII pada tanggal 28 Juni 2012, yang menyatakan "Kalau tidak diatur mekanismenya, banyak nanti kepala desa, perangkat desa, masuk penjara itu Pak. Itu juga persoalan lagi". Demikian juga yang disampaikan oleh Totok Sudaryanto (FPAN) di dalam RDPU IV pada tanggal 7 Juni 2012,

    " ... itu penyakitnya saya yakin sama Pak. Kalau uang ini datang-tiba digelontorkan di desa, apalagi usul 10% APBN dan lain sebagainya itu yang terjadi kira-kira sama dengan saat otonomi gres kita jalankan langsung kita gelontorkan ke kawasan-daerah, 60% bupati dan gubernur itu urusan dengan KPK dan hukum."

    Terkait kekhawatiran tersebut, kebanyakan mengusulkan mekanisme transfer dari pemerintah pusat ke kabupaten dan tidak pribadi ke Desa, sebagaimana disampaikan oleh Sudir Santoso (Parade Nusanatara) pada RDPU I tanggal 24 Mei 2012,

    " ... andaikan dikabulkan alokasi pembangunan desa itu, jangan transfer ke rekening desa. Sebab jika hingga ditransfer eksklusif ke rekening desa, berdasarkan aku juga itu tidak berkah tapi petaka. Pasti banyak kepala desa kawin lagi. Transfer ke rekening daerah atau kabupaten. Tapi tolong dalam undang-undang besok, kunci Pak, dengan satu pasal yang diktumnya menyatakan "kepala kawasan dihentikan mengurangi dan atau mengalihkan alokasi dana dimaksud, dengan dalih dan alasan apapun". Sehingga dana yang diplot untuk desa, betul-betul utuh ke desa. Kalau tidak dipercaya dianggap Pemerintah desa tidak bisa, silakan Pemerintah Kabupaten, pemerintah provinsi dan pemerintah sentra, mendampingi dan mengawasi. Sehingga terjadilah pembangunan desa."

    Hal senada juga diungkapkan oleh Sutoro Eko dari IRE pada RDPU VI pada tanggal 6 Juni 2016,

    "Ini hitungannya sudah lebih pasti. Pastinya 5,97% kita bulatkan, ya kita bonuslah, kita bonus nol koma menjadi 6% dan itu nanti posisinya pos transito Pak, tidak pribadi ke desa."

  • Keluar dari Polemik: Disepakati Adanya Alokasi APBN untuk Desa
    Perkembangan rumusan pasal 72 ini selanjutnya terjadi pada Raker IV tanggal 11 Desember 2013. Pimpinan rapat Drs. H. Akhmad Muqowam selaku Ketua Pansus RUU Desa (Fraksi PPP). Di rapat ini, setelah dilakukan proses lobi, Ketua Tim Panja Budiman Sudjatmiko (Fraksi PDIP) memberikan kemajuan rumusan pasal sebagai berikut:

    "Pasal 72, ayat (1), Pendapatan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) bersumber dari: a. Pendapatan asli desa, terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong-royong dan lain-lain pendapatan orisinil desa; b. Alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara; c. Bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota; d. Alokasi dana desa yang merupakan bab dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota; e. Bantuan keuangan dari anggaran pendapatan dan belanja kawasan provinsi, dan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota; e. Hibah dan pertolongan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan f. Lain-lain pendapatan desa yang sah.

    Pada ayat (2), dalam perkembangan konsultasi tadi siang, ada 4 alternatif yang muncul dari masing-masing fraksi. Alternatif 1, sebagaimana draft awal, besaran alokasi anggaran yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara untuk desa, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) b. ditentukan setiap tahun sesuai dengan kemampuan keuangan negara yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Alternatif ke-2, besaran alokasi anggaran yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara untuk desa, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) b. ditentukan 5% dari anggaran pendapatan dan belanja negara. Alternatif ke-3, besaran alokasi anggaran yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara untuk desa, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) b. ditentukan 15% dari anggaran pendapatan dan belanja negara sehabis dikurangi dana perimbangan subsidi belanja pegawai dan anggaran mengikat lainnya. Alternatif ke-4, besaran alokasi anggaran yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara untuk desa, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) b. ditentukan 10% on top dari Dana transfer tempat.

    Dalam lobi yang gres saja kita lakukan, baru selesai, tercapai kesepahaman bahwa: Pasal 72 ayat (1) akan berbunyi: alokasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) b. bersumber dari belanja pusat dalam APBN dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan.

    Ayat (2), penjelasannya adalah, masih ada 2 alternatif yang akan diputuskan besok. Penjelasan alternatif ke-1: Besaran alokasi anggaran ditentukan 10% dari dan di luar dana transfer kawasan, alternatif 1, secara sedikit demi sedikit. Penjelasan alternatif ke-2: Besaran alokasi anggaran ditentukan 10% dari dan di luar dana transfer kawasan, titik, tidak ada kata secara sedikit demi sedikit."

  • Menyepakati Variabel
    Sebelum terjadi kesepakatan perihal alternatif yang diusulkan, pembahasan mulai memasuki info parameter yang akan dipakai. Totok Sudaryanto (Fraksi PAN) mengusulkan untuk menghidupkan kembali rumusan di penjelasan ayat (2) terkait dasar pengalokasian,

    "Makara kalau tidak masuk di dalam norma di pasal, di penjelasan jangan dihilangkan. Karena itu tadi bab dari hasil pembahasan kita, untuk nanti mengalokasikan kalau duitnya itu benar-benar ada, itu tidak dibagi rata seluruh Indonesia, tapi ada dasar cara membaginya. Jadi itu penting dicantumkan di situ, dalam klarifikasi."

    Rumusan penjelasan yang dimaksud adalah "anggaran yang bersumber dari APBN dialokasikan berdasarkan jumlah desa per kapita kabupaten/kota dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan antar desa"

    Terkait rumusan ini, Mendagri Gamawan Fauzi menawarkan pendapatnya terkait variabel-variabel yang dipakai sebagai dasar alokasi, antara lain jumlah penduduk dan luas wilayah.

    "Saya kira anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dialokasikan menurut jumlah desa per kapita ini, per kapita itu tidak desa, per kapita. Berdasarkan kapita penduduk, dan variabelnya saya kira tidak hanya ini. Makara variabelnya juga ada luas wilayah, ada jumlah penduduk, jadi jika bisa itu ditambah."

    Menanggapi tawaran ini, pimpinan rapat Drs. H. Akhmad Muqowam (Fraksi PPP) berpendapat rumusan variabel yang dipakai sebagai dasar pengalokasian sebaiknya diatur di PP, namun I Wayan Koster (Fraksi PDIP) berpendapat bahwa deskripsi mengenai variabel yang akan digunakan dimasukkan pada bagian penjelasan:

    "Karena ini parameter penting untuk mengalokasikan anggaran dari APBN ini, itu perlu disinggung, Pak, jadi dicantumkan."

    Pimpinan rapat lalu menyetujui anjuran ini sehingga kalau akan dicantumkan, maka harus komplit. Beberapa variabel yang diusulkan ialah: luas wilayah, jumlah penduduk, angka kemiskinan dan tingkat kesulitan geografis, sehingga rumusan penjelasan ialah sebagai berikut:

    Anggaran yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara, dialokasikan menurut jumlah desa, jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa.


  • Menyepakati Posisi Dana dan Basis Prosentase.
    Terkait alternatif satu dan dua ini, dari dewan perwakilan rakyat setuju menentukan alternatif satu, adalah tidak ada kata secara bertahap, namun pemerintah belum memberikan pilihannya. Menanggapi rumusan ini, Khatibul Umam Wiranu, SH, M.Hum (Fraksi PKB) mengusulkan penambahan kata ‘on top’ di klarifikasi, sebagai berikut:

    " ... jadi di kampung kan memang populernya memang on top, tapi bahasa Pak Farouk tadi kan memang besaran alokasi anggaran ditentukan 10% dari dan diluar, kenapa tidak ditanda kurung on top, begitu? Karena bahasa dari dan diluar itu tidak terkenal, bergotong-royong. Dalam tanda kurung, on top, begitu."

    Menanggapi rumusan penjelasan ayat (2) ini, M Nafi (Kementerian Keuangan) berdapat bahwa rumusan yang diusulkan bisa membingungkan:

    " ... dari dan di luar itu memang confuse ya, jikalau dibaca. Kalau mungkin kita di dalam sini mampu dipahami. Makara yang baku biasanya kan kayak pagu DAU terhadap PDN itu, 26%, sekurang-kurangnya 26%. Kemudian alokasi yang lain juga demikian. Makanya bila ini, bukan dari dan di luar, tapi terhadap dana transfer ke kawasan (on top), terhadap. Jadi artinya pengalinya itu, terhadap, bukan dari, tapi pengalinya.

    Kan tadi kata Pak Muqowam tadi, cari bonggolnya. Nah itu maksudnya bonggolnya, itu, terhadap itu bonggolnya itu. Dari dan di luar diganti terhadap. Nah, on top nya di belakang, dana transfer kawasan secara sedikit demi sedikit. Kalau dari itu, include, Pak. Kaprikornus jikalau ini kan terhadap kan bisa kali, atau setara, 10% dari transfer kawasan."

    Tanggapan selanjutnya tiba dari I Wayan Koster (Fraksi PDIP) yang mengusulkan rumusan sebagai berikut:

    "10% dari transfer kawasan itu yang di on top-kan itu, itu yang benar. Makara diatas pagu dari transfer wilayahnya, ditambah 10% itu beliau."

    Pimpinan rapat memberikan bahwa rumusan yang diperlukan yaitu rumusan bahwa 10% alokasi anggaran untuk desa di luar dari dana transfer kawasan namun besarannya ditentukan dari besaran transfer tempat, dengan pernyataan sebagai berikut, "disepakati tadi bahasa Pak Farouk tadi itu, dari dan diluar. Dari transfer tempat, kemudian kalkulasinya, di luar dana itu. Itu bahasa hukum. Sehingga 10% itu berada di luar 100%, bukan 10% itu include bagian dari 100%."

    Rapat pada kesannya menyetujui rumusan yang diusulkan pimpinan rapat dengan memakai frasa "dari dan di luar".

  • Menyepakati Realisasi Secara Bertahap
    Pimpinan rapat kembali menanyakan kepada pemerintah terkait substansi pilihan "bertahap" atau "tidak sedikit demi sedikit", dimana pemerintah belum menyampaikan keputusannya. Mendagri Gamawan Fauzi memberikan alasan yang perlu dipertimbangkan sebelum menetapkan substansi ini, antara lain pergantian kabinet.

    " ... saya kasihan nanti Kabinet yang 2014 tamat ini. Kalau mau diputuskan kini, saya sarankan alternatif dua, biar ada 1 tahun kabinet baru ini menyesuaikan dirilah. Tahun kedua, baru 10%. Itulah, bagaimana Pak Muqowam, ini kan sedikit demi sedikit itu mampu dua tahun, Pak. Tahun pertama, konsolidasi, tahun kedua, 100%."

    Pimpinan rapat (Drs. Akhmad Muqowam dari Fraksi PPP) berusaha menyarankan kepada Mendagri untuk menyetujui opsi satu, adalah dengan menghilangkan kata sedikit demi sedikit.

    "aku kira, sekali lagi, apa tidak kita putuskan, bertahapnya dihilangkan saja sih Pak?"

    Menanggapi undangan dari pimpinan rapat, Mendagri Gamawan Fauzi tetap berargumen bahwa bila dilaksanakan secara pribadi (tidak sedikit demi sedikit), maka dikhawatirkan akan membebani kabinet gres.

    "Tidak, begini Pak, bahu-membahu berlaku ini kan 2015? Kalau kita berpikir, sangat subyektif, bagi saya, tidak ada masalah. Tapi aku sayang betul kepada kabinet nanti, di tahun awal sudah menghadapi duduk perkara yang sudah cukup berat. Makara perlu konsolidasilah, satu tahun minimal. Jadi tahun pertama, 2015, itu mungkin 7, 5%. Tahun 2016, 10%. Kalau tidak, nanti, kita tidak tahu ekonomi kita ini. Kasihan kita kabinet nanti. Tapi jika kita buat 10, terkunci, kita Pak. Kabinet nanti itu kasihan. Kalau saya, tidak ada beban, bergotong-royong. Tapi kabinet nanti itu kasihan. Walaupun saya berulang-ulang melihat Pak Budiman, tapi yang lain juga barangkali mampu merasakanlah."

    Terkait jawaban dari Mendagri ini, Jack Jacob Ospara, S.TH, M.TH (DPD RI) mengusulkan supaya rumusan 'sedikit demi sedikit' ini diatur di dalam Peraturan Peralihan, dengan pernyataan berikut ini:

    "Makara yang dibilang Pak Menteri tadi, sedikit demi sedikit, satu atau dua tahun, atau tiga tahun sesuai itu tadi, kita muat di dalam Peraturan Peralihan. Makara diatur di Peraturan Peralihan itu dikatakan di sana bahwa semua yang berkaitan misalnya."

    Namun, ajuan ini ditolak oleh pimpinan rapat (Drs. Akhmad Muqowam dari Fraksi PPP) dengan alasan substansi yang sudah disepakati untuk dimasukkan ke "penjelasan" tidak bisa lagi ditarik ke norma lagi, meskipun di pasal wacana peraturan peralihan.

    Selanjutnya, Mendagri Gamawan Fauzi menyampaikan bahwa ketentuan pasal 72 ayat (2) ini akan mulai diberlakukan pada tahun 2015, sehingga perlu satu tahun minimal untuk konsolidasi. Pemerintah tetap memilih opsi kedua: bertahap. Melihat pemerintah yang kukuh menentukan opsi kedua, balasannya pimpinan rapat menyampaikan bahwa dewan perwakilan rakyat akan mendapatkan apapun putusan pemerintah, sebagaimana dinyatakan berikut ini :

    "Oke, bila begitu begini, silakan Pemerintah itu besok melaporkan, aku mohon maaf, tidak perlu rapat kerja. Itu ya? Apapun putusan Pemerintah, kita terima, begitu? Dengan memperhatikan asumsi siapapun pemenang Pemilu nanti."

  • Menyepakati basis data
    Selanjutnya, akseptor rapat kemudian membahas lagi perihal variabel yang digunakan sebagai dasar pengalokasian yang akan dimasukkan di klarifikasi ayat (2), dimana rumusan terakhir adalah: "Anggaran yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara, dialokasikan menurut jumlah desa, jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa".

    Terkait rumusan ini, Dr. AW.Thalib, M.SI (Fraksi PPP) mengkritisi variabel yang ada, sebagaimana dinyatakan berikut ini:

    "bahwa itu dihitung dari jumlah desa, alasannya adalah ini transfer ke tempat, ya mungkin. Tapi bila jumlah penduduknya dari mana, apakah dari daerah? Angka kemiskinannya ini, angka kemiskinan kawasan atau desa?"

    Pimpinan rapat (Drs. Akhmad Muqowam dari Fraksi PPP) menanggapi bahwa dasar yang digunakan adalah tingkat desa:

    Saya kira bila begitu, maka itu keseluruhan ialah desa. Kalau kemudian dikomplitkan yakni, jumlah desa, jumlah penduduk desa, angka kemiskinan desa, luas wilayah desa, kemudian tingkat kesulitan geografis desa, bila mau dikomplitkan. Atau mau begini, menurut jumlah, penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah dan tingkat kesulitan desa. Tidak mampu. Kalau itu, komplitkan semua saja. Jumlah desa, jumlah penduduk desa, angka kemiskinan desa, luas wilayah desa, kemudian tingkat kesulitan geografis desa.

    Terkait dengan anjuran rumusan gres ini, Prof. Dr. Farouk Muhammad (DPD RI) menolak rumusan tersebut dan mengusulkan tetap menggunakan rumusan awal:

    "Ketua, yang kita atur ini kan yakni untuk desa, Undang-Undang Desa. Kaprikornus sudah terang itu, anggaran yang .... bla, bla, dialokasikan menurut jumlah desa. Makara tidak ada aturan lain di situ, Pak. Itu sudah jelas."

    Namun Dr. AW. Thalib, M.SI (Fraksi PPP) tetap beropini perlunya memperjelas parameter yang digunakan, yakni di tingkat desa, bukan di tingkat kabupaten/kota:

    "Seperti itu, memang jikalau untuk desa, harusnya beliau menghitung jumlah dusun ya? Kalau ini untuk desa. Tetapi, nampak bahwa ini dana transfer ke tempat, hitungannya adalah dari jumlah desa, memperoleh hal itu. Tetapi parameter lainnya, ada jumlah penduduk, ada angka kemiskinan. Ini seakan-akan menggambarkan, ini jumlah penduduk kawasan itu, angka kemiskinan tempat itu. Padahal ini yang dimaksud yakni desa."

    Menanggapi hal ini, I Wayan Koster (Fraksi PDIP) memberikan bahwa lebih baik ditambahkan kata 'desa' biar terperinci dan tidak salah ditafsirkan dikala menyusun Peraturan Pemerintah nanti:

    "Sebagaimana dinyatakan berikut ini, "menurut aku, ditambah desa lebih clear dan tidak salah itu Pak. Jumlah penduduk desa, angka kemiskinan di desa, begitu Pak, luas wilayah desa, tidak apa-apa, supaya tidak salah tafsir lagi nanti dibuat PP". Terkait hal ini, Prof. Dr. Farouk Muhammad (DPD RI) menawarkan klarifikasi sebagai berikut, "Memang penambahan kata jumlah desa tadi, didasarkan kepada pemikiran, bahwa pemerintah menjamin pengalokasian itu akan merata pada semua desa. Tidak didasarkan kepada ayat (4). Kalau ayat (4) itu ada berdasarkan DAU dan sebagainya, sehingga contohnya terjadi ketimpangan. Nah, sehingga tadi aku dengar Pak Menteri itu, akan dijamin seluruh itu mampu disamaratakan. Tapi dengan adanya kata-kata pemerataan pembangunan desa, maka mungkin kata jumlah desa itu tidak kita perlukan lagi, kecuali mau diganti menjadi jumlah dusun, sebagaimana ..."

    Untuk mengatasi kemungkinan rumusan klarifikasi ini menjadi multitafsir, Totok Sudaryanto (Fraksi PAN) menyampaikan pendapatnya bahwa mekanismenya mampu dilakukan dua tingkat, yakni pertama dihitung per kabupaten, selanjutnya dihitung per desa di kabupaten tersebut:

    "Sebentar, sebentar, Ketua, coba diperhatikan dulu. Ini tadi kan pendekatannya itu, walaupun dana pribadi ke desa, masih ditahan di sentra, tapi lewatnya tetap kabupaten. Jadi bahu-membahu menghitungnya tetap ke kabupaten sana dikirim berapa, dikirim berapa, nah saat dikirim berapanya itu, makanya diperhatikan ialah jumlah desanya berapa di kabupaten itu, jumlah penduduknya, setiap desanya berapa, begitu."

    Namun, diskusi masih berjalan hangat, sebab beberapa anggota DPR berpendapat dana dari APBN eksklusif dialokasikan per desa, sesuai "jumlah desa" yang diakui oleh Kemendagri, ialah 72.944 desa. Selanjutnya, pimpinan rapat meminta wakil dari Kementerian Keuangan (M. Nafi) untuk memberikan pendapatnya dengan menganalogikan alokasi dana untuk Desa dengan formula DAU. Wakil dari Kementerian Keuangan menjelaskan:

    "Kaprikornus intinya bila kita melihat analogi di dalam perhitungan DAU, kita mengenal ada formula DAU, yang sifatnya nasional, berdasarkan provinsi, kabupaten/kota. Nah kemudian kita bicara juga alokasi berdasarkan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, indeks pembangunan konstruksi, PDMD per kapita, IPM dan ya, itu ada 5 variabel itu.

    Nah kalau dianalogikan dari sana, sebenarnya ini mampu 2 tahap, Pak. Tahap pertama ialah ke kabupaten/kotanya, dari sentra ke kabupaten/kota, menghitungnya yaitu berdasarkan tadi, mirip dijelaskan Pak Prof. Farouk tadi, berdasarkan jumlah desa, sehingga ada unsur pemerataan. Ketika ke kabupaten/kota, kabupaten/kota mampu berdasarkan rumusan Undang-Undang ini, memperhatikan variabel jumlah penduduk di masing-masing dusun, misalkan, angka kemiskinan di masing-masing desa yang berbeda-beda dalam kabupaten/kota itu, luas wilayah, lalu tingkat .... grafis, itu jadi pertimbangan. Jadi nanti rumusannya bisa dipandu oleh Kementerian Dalam Negeri, mengenai variabel-variabel tersebut. Bisa diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, Pak, dalam PP."

    Untuk mengerucutkan rumusan berdasarkan perkembangan diskusi, Sunaryo Adhiwardoyo (F PAN) mengusulkan sebagai berikut :

    "Saya kira perlu ada penambahan ini saja, di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang ditransfer melalui kabupaten/kota, sehingga itu lokasinya bukan nasional, tapi kabupaten/kota. Sehingga jumlah desa itu sudah disebut di kabupaten/kota. Kalau hanya pendapatan dan belanja negara, seakan-akan nasional, masih. Sehingga anak kalimatnya, jumlah desa, jumlah penduduk itu menjadi mampu ditafsirkan secara nasional. Tapi bila kita batasi kabupaten/kota, itu sudah niscaya desanya disitu."

    Kemudian rumusan ini dilanjutkan oleh Prof Dr. Farouk Muhammad (DPD RI), sebagai berikut :

    "Boleh kami lanjutkan? Dihitung menurut jumlah desa pada masing-masing kabupaten/kota, masing-masing kabupaten/kota, yang setiap desa dialokasikan dengan memperhatikan variabel dan seterusnya. Karena kata dalam Bahasa Indonesia, jikalau kata dimana itu bertanya. Katanya dalam Bahasa Indonesia tidak, yang nomal itu, dimana itu, tidak lazim, karena nanti bertanya beliau."

    Terhadap rumusan ini, Hermanto, SE, MM (Fraksi PKS) dan Totok Sudaryanto (F PAN) merasa kurang sesuai dengan yang dibahas. Kemudian, Hermanto, SE, MM (Fraksi PKS) mengusulkan rumusan sebagai berikut :

    "Anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, untuk desa dengan memperhatikan, bukan dialokasikan menurut jumlah desa, tapi untuk desa. Itu lebih kongkrit, tidak nyangkut di kabupaten. Untuk desa."

    Pimpinan rapat menanggapi proposal rumusan ini yang mampu disalah tafsirkan oleh pemerintah, dengan pernyataan berikut ini:

    "Pak Hermanto, bila desa itu lalu, ‘sakerepe dewek’, bisa nanti. Karena itu jumlah desa itu menjadi penting. Sehingga itu definitifnya itu yaitu ada nomor induk desa. Kalau untuk desa begini, maka semau gue Pemerintah nanti, "Kan saya memenuhi aturan di dalam Undang-Undang."

    Selanjutnya, Totok Sudaryanto, SE (F-PAN) mengingatkan akseptor rapat bahwa yang sedang dibahas ialah parameter di dalam mengalokasikan:

    "Coba, ini diubah-ubah, itu jadi tidak terperinci. Kita ini kan mau mencari parameter, mengalokasikan itu parameternya apa? Kalau bersumber itu tadi, sudah sumbernya itu dari belanja sentra. Jadi ini jangan sampai nanti ini keliru lagi, pengertiannya. Makara ini kan alokasi, sebetulnya kan menjelaskan, anggaran yang dari belanja sentra tadi itu, itu pengalokasiannya ke desa-desa itu, itu parameternya yaitu ini, jumlah desa. Kemudian jumlah penduduk, angka kemiskinan di desa itu, luas wilayah desa itu," dan dilanjutkan dengan mengajukan rumusan sebagai berikut, "Anggaran yang bersumber dari APBN dihitung menurut jumlah desa, dan memperhatikan jumlah penduduk di setiap desa, angka kemiskinan, luas wilayah dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa. Pokoknya maksudnya pemerataan dihitung secara nasional begitu."

    Terkait dengan rumusan ini, Mendagri memberikan persetujuan, namun masih mempertanyakan denah pengalokasiannya akan diatur di UU atau PP:

    "Saya baiklah dengan kalimat ini Pak ketua, Cuma ini ada satu pertanyaan. Pengalokasiannya itu pakai scheme apa? Apakah itu diatur di PP atau dimasukkan disini?"

    Pimpinan rapat menanggapi pertanyaan Menteri dengan menegaskan bahwa pengaturan mekanisme dilakukan melalui Peraturan Pemerintah:

    "Saya kira begini, untuk lebih jelasnya bapak sekalian, ini perlu norma PP itu masuk di sini, bukan di klarifikasi. Karena itu di sini bila disepakati maka berbasis desa. Pak Wayan, dengan mengefektifkan acara berbasis desa secara merata dan berkeadilan, yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah."

  • Rumusan akhir yang disepakati
    Akhirnya forum rapat menyepakati akan diatur di dalam PP dan rumusan mengenai Pasal 72 ayat (2) menjadi sebagai berikut:

    Pasal 72

    (2) Alokasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) abjad b bersumber dari Belanja Pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis Desa secara merata dan berkeadilan.

    Penjelasan

    Besaran alokasi anggaran yang peruntukannya langsung ke Desa ditentukan 10% (sepuluh perseratus) dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap.

    Anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dihitung menurut jumlah Desa dan dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan Desa.



Tanggapan-Tanggapan:

Dalam hal sumber-sumber pendapatan Desa, dari tujuh sumber pendapatan Desa sebagaimana telah diatur pada pasal 72 ayat (1), ada dua tipe kalau dilihat dari sisi kepastian memperolehnya. Tipe pertama yakni sumber pendapatan yang sifatnya pasti diterima oleh Desa alasannya merupakan hak Desa, meliputi Pendapatan Asli Desa, Dana Desa, bagian dari hasil pajak kawasan dan retribusi daerah Kabupaten/Kota dan Alokasi Dana Desa. Jika haknya tidak diberikan, maka mampu menuntut kepada pemerintah kabupaten/kota maupun pemerintah sentra. Tipe kedua yakni sumber pendapatan yang sifatnya tidak niscaya, yang terdiri dari pertolongan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota, hibah dan pertolongan yang tidak mengikat dari pihak ketiga dan lain-lain pendapatan Desa yang sah. Untuk tipe kedua ini, Desa tidak bisa menuntut jika suatu ketika pihak yang menawarkan menghentikan bantuannya kepada Desa.

  • Pendapatan Asli Desa: Implikasi Perubahan Status Tanah Bengkok.
    Di dalam klarifikasi, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "pendapatan asli Desa" ialah pendapatan yang berasal dari kewenangan Desa berdasarkan hak asal permintaan dan kewenangan skala lokal Desa.’’Hasil usaha" antara lain didapatkan dari hasil BUM Desa dan tanah bengkok.

    Dengan demikian, hasil dari tanah bengkok tidak lagi menjadi sumber penghasilan bagi Kepala Desa dan Perangkat Desa. Hal ini berbeda dengan PP No. 72 Tahun 2005 yang tidak memasukkan hasil dari tanah bengkok sebagai sumber pendapatan orisinil Desa. Ketentuan ini membawa efek berkurangnya penghasilan Kepala Desa dan Perangkat Desa di desa-desa yang mempunyai tanah bengkok yang luas yang bisa berakibat pada menurunnya semangat dari Kepala Desa dan Perangkat Desa di dalam memperlihatkan pelayanan kepada warga Desa.

    Dalam hal ini Pemerintah Kabupaten perlu mengidentifikasi desa-desa yang penghasilan dari Kepala Desa dan Perangkat Desa berkurang sebab ketentuan ini supaya dapat dilakukan upaya-upaya untuk mencegah terjadinya dilema terganggunya pelayanan di tingkat Desa.


  • Alokasi APBN untuk Desa: Isu Kebocoran dan Kendala Pencairan
    Pada Pasal 72 ayat (2) menyebutkan bahwa alokasi anggaran yang berasal dari APBN ini bersumber dari Belanja Pusat dengan mengefektifkan acara yang berbasis Desa secara merata dan berkeadilan. Hal ini dipertegas di dalam penjelasannya bahwa besaran alokasi anggaran yang peruntukannya eksklusif ke Desa ditentukan 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap. Anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dihitung menurut jumlah Desa dan dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan Desa.

    Di dalam penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "Anggaran bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tersebut" yaitu anggaran yang diperuntukkan bagi Desa dan Desa Adat yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan.

    Alokasi untuk desa yang bersumber dari APBN diperkirakan akan diterapkan dengan prinsip money follow function, terkait legalisasi negara atas kewenangan asal seruan dan kewenangan skala lokal Desa. Berdasarkan administrasi keuangan yang lazim, transfer dana ini tentunya dilaksanakan secara bertahap dan bersyarat.

    Jumlah desa yang begitu besar dan pertimbangan akuntabilitas penyaluran dan pemanfaatan dana akan mempunyai risiko tinggi. Di sisi lain, Pemerintah melihat bahwa urusan yang dilaksanakan oleh Desa sebagai bab dari urusan Kabupaten/Kota. Dengan pertimbangan tersebut pilihan yang paling rasional ialah penyaluran dana dilakukan dua tingkat, ialah: transfer dari Rekening Kas Umum Negara (RKUN) ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) dan dilanjutkan dengan transfer dari RKUD masing-masing Kabupaten ke Rekening Kas Desa. Persyaratan dalam penyaluran dana lazimnya akan mencakup aspek legal (ketersediaan regulasi pendukung di tingkat Kabupaten/Kota maupun Desa) dan prosedur (misalnya: ketepatan waktu dalam penyampaian laporan).

    Secara normatif Pemerintah Kabupaten yang dibantu oleh Kecamatan bertanggung jawab untuk melakukan pelatihan dan pengawasannya dalam bentuk menawarkan pendampingan secara intensif kepada pemerintah Desa. Namun berita mengenai kemungkinan kendala pencairan tepat waktu balasan terlambatnya pelaporan merupakan salah satu yang menjadi alasan penting mengapa Pemerintah berencana untuk merekrut Fasilitator Desa.

  • Bagian dari hasil pajak dan retribusi daerah: Transparansi Penerimaan dan Pemanfaatan
    Pasal 72 ayat 3 menyebutkan bahwa Bagian hasil pajak daerah dan retribusi tempat Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari pajak dan retribusi tempat. Ketentuan ini merupakan bagian dari hak yang yang diterima oleh Desa terkait dengan pajak dan retribusi tempat.

    Ketentuan bagi hasil ini sebelumnya sudah ada di PP No 72 Tahun 2005, yang menyatakan bagi hasil pajak kawasan Kabupaten/Kota paling sedikit diberikan pribadi kepada Desa sedangkan untuk retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi Desa yang dialokasikan secara proporsional, tidak menyebutkan prosentase tertentu. Dengan demikian, UU Desa ini memperkuat landasan hukum hak Desa atas hasil pajak daerah dan retribusi kawasan Kabupaten/Kota, ialah sebesar 10%.

    Pemberlakuan hak desa berdasarkan prosentase ini dapat mendorong mereka untuk mengawasi proses penarikan pajak dan retribusi di Kabupaten/Kota, karena efektifitas pajak dan retribusi oleh Kabupaten/Kota akan mensugesti besaran pendapatan mereka secara tak langsung.


  • Alokasi Dana Desa: Antara Keengganan dan Efektifitas Sanksi
    Dalam rangka menjamin kepatuhan Kabupaten/Kota menjalankan aturan ini, maka Pasal 72 ayat (6) ditegaskan hukuman bagi Kabupaten/Kota yang tidak memberikan alokasi dana Desa sebagaimana rumus yang telah ditetapkan, Pemerintah mampu melaksanakan penundaan dan/atau pemotongan sebesar alokasi dana perimbangan sehabis dikurangi Dana Alokasi Khusus yang seharusnya disalurkan ke Desa. Ketentuan ini merupakan upaya antisipasi pemerintah merujuk pada rendahnya kepatuhan pemerintah kabupaten/kota di dalam melakukan ketentuan ADD sebagaimana sebelumnya diatur melalui PP No 72 Tahun 2005.

    Kemungkinan respon Kabupaten terhadap ADD. Pemerintah kabupaten di samping harus meneruskan penyaluran Dana Desa juga berkewajiban mengalokasikan Alokasi Dana Desa (ADD). Hal ini dapat dimungkinkan terjadi trade off yaitu, memilih mengurangi belanja pengadaan/pelayanan dan belanja pegawai untuk mampu memperlihatkan ADD atau justru lebih baik mendapatkan hukuman dari pemerintah pusat. Pemerintah Daerah yang selama ini sudah mengalokasikan ADD cukup besar, maka tidak akan kesulitan melanjutkan kebijakan ini. Strategi yang mampu ditempuh ialah mengkonsolidasikan alokasi dana-dana yang diperuntukkan kepada desa (seperti pembinaan Posyandu) yang selama ini dikelola oleh SKPD, dialokasikan kepada ADD. Namun bagi kabupaten/kota yang belum sama sekali mengalokasikan ADD, maka akan menghadapi resiko pilihan tersebut. Hal itu alasannya adalah pengalokasian ADD ini akan mengurangi alokasi dana yang selama ini dikelola oleh SKPD. Oleh alasannya itu penting mengidentifikasi kesiapan kabupaten/kota yang belum pernah mengalokasikan ADD.


  • Bantuan keuangan dari Provinsi dan Kabupaten/Kota: Antara Kepentingan Politik dan Relevansi
    Tidak sedikit perlindungan keuangan Provinsi dan kabupaten/kota cenderung mengarah pada pemenuhan komitmen-akad politik dalam pilkada untuk memberikan sumbangan ke Desa. Kabupaten semestinya lebih memprioritaskan pemenuhan hukum terlebih dahulu yakni ADD dari pada dukungan keuangan. Sedangkan jikalau kewajiban pengalokasian ADD sudah terpenuhi, maka akan lebih efektif bila tunjangan keuangan tersebut dipakai untuk pembangunan daerah pedesaan. Demikian pula halnya dengan santunan keuangan provinsi.

  • Hibah dan derma yang tidak mengikat dari pihak ketiga: Diperlukan Pedoman?
    Desa dapat memperoleh santunan berupa hibah dan perlindungan yang tidak mengikat dari pihak ketiga. Misalnya ialah dana CSR (corporate social responsibility) dari perusahaan yang berlokasi di luar Desa. Bagi Desa yang kreatif, maka Desa, dengan berbekal RPJMDesa, dapat membuat usulan pembangunan untuk disampaikan kepada BUMN maupun perusahaan swasta.

  • Lain-lain pendapatan Desa yang sah: Standar Review oleh Kabupaten/Kota
    Desa mampu memperoleh pendapatan dari sumber lain-lain, yang di dalam klarifikasi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "lain-lain pendapatan Desa yang sah" adalah antara lain pendapatan sebagai hasil kerja sama dengan pihak ketiga dan perlindungan perusahaan yang berlokasi di Desa.

3. Belanja Desa

Pasal 74 menyebutkan bahwa Belanja Desa diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang disepakati dalam Musyawarah Desa dan sesuai dengan prioritas Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Pusat. Di dalam klarifikasi, disebutkan bahwa kebutuhan pembangunan mencakup, tetapi tidak terbatas pada kebutuhan primer, pelayanan dasar, lingkungan, dan aktivitas pemberdayaan masyarakat Desa. Maksud dari "tidak terbatas" ialah kebutuhan pembangunan di luar pelayanan dasar yang diharapkan masyarakat Desa. Sedangkan maksud dari "kebutuhan primer" adalah kebutuhan pangan, sandang, dan papan dan maksud dari "pelayanan dasar" yaitu antara lain pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.
Selain itu, di dalam belanja Desa dapat dialokasikan insentif kepada rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW).

Pasal 74
(1) Belanja Desa diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang disepakati dalam Musyawarah Desa dan sesuai dengan prioritas Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah.
(2) Kebutuhan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup, tetapi tidak terbatas pada kebutuhan primer, pelayanan dasar, lingkungan, dan kegiatan pemberdayaan masyarakat Desa.
Penjelasan
Ayat (1)
Dalam penetapan belanja Desa dapat dialokasikan insentif kepada rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW) dengan pertimbangan bahwa RT dan RW walaupun sebagai forum kemasyarakatan, RT dan RW membantu pelaksanaan tugas pelayanan pemerintahan, perencanaan pembangunan, ketertiban, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "tidak terbatas" ialah kebutuhan pembangunan di luar pelayanan dasar yang diharapkan masyarakat Desa.
Yang dimaksud dengan "kebutuhan primer" yakni kebutuhan pangan, sandang, dan papan.
Yang dimaksud dengan "pelayanan dasar" ialah antara lain pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.

Pembahasan di dewan perwakilan rakyat

Dalam pembahasan Pasal 74 di dewan perwakilan rakyat tidak ditemui polemik. Rumusan pasal yang disepakati sama dengan rumusan pasal yang diajukan oleh pemerintah.

Tanggapan-Tanggapan:
  • Ketentuan belanja sangat umum dan tidak ada batas minimal maupun maksimal untuk alokasi tertentu.
    Tipe ketentuan mirip ini membawa konsekuensi positif dan negatif pada ketika yang bersamaan. Konsekuensi positifnya, Desa mempunyai keleluasaan untuk merencanakan pengalokasian anggaran dalam rangka memenuhi kebutuhan pembangunan. Sedangkan potensi konsekuensi negatif mampu terjadi dalam bentuk rendahnya kualitas belanja dari APBDesa yang tercermin dari postur APBDesa yang lebih memenuhi kebutuhan elit desa (Kepala Desa, perangkat Desa dan BPD) dibandingkan kebutuhan warga. Dengan model ketentuan seperti ini, maka alokasi belanja di APBDesa tergantung pada dinamika politik anggaran Desa. Hal ini mengingat intinya keputusan alokasi merupakan keputusan politis dan sangat tergantung pada siapa pemain film yang terlibat di dalam penyusunan APBDesa, kepentingan dari pada pemeran yang terlibat dan interaksi antar aktor. Dalam teori pilihan publik (public choice theory), perilaku dari elit Desa yang perlu diwaspadai adalah budget maximizer, yakni memaksimalkan anggaran untuk kepentingan diri dan kelompoknya.

    Pengalaman internasional menunjukkan bahwa adanya ketentuan yang memutuskan batas minimal atau maksimal untuk alokasi tertentu cukup efektif mencegah sikap budget maximizer dalam memastikan ketersediaan anggaran untuk memenuhi hak warga. Pengalaman internasional ini juga diadopsi oleh Pemerintah Indonesia yaitu ketentuan 20% anggaran pendidikan yang dicantumkan di dalam UUD dan ketentuan 5% anggaran kesehatan yang terdapat di Undang-Undang Kesehatan.

    Potensi konsekuensi kasatmata dan negatif serta pengalaman internasional terkait penentuan batas minimal atau maksimal terkait alokasi tertentu perlu menjadi pertimbangan di dalam menyusun aturan pelaksanaan dari UU Desa ini.

  • Alokasi penghasilan untuk Kepala Desa dan Perangkat Desa berpotensi multi tafsir.
    Ketentuan pasal 74 ini terkait dengan ketentuan di pasal 66 yang mengatur wacana penghasilan Kepala Desa dan Perangkat Desa yang membawa konsekuensi pengalokasian anggaran. Pasal 66 menyebutkan bahwa:

    • Kepala Desa dan perangkat Desa memperoleh penghasilan tetap setiap bulan yang bersumber dari dana perimbangan yang diterima oleh Kabupaten/Kota dan ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
    • Selain penghasilan tetap, Kepala Desa dan perangkat Desa mendapatkan:
      1. santunan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
      2. jaminan kesehatan. Di bab penjelasan, disebutkan bahwa Jaminan kesehatan yang diberikan kepada Kepala Desa dan perangkat Desa diintegrasikan dengan jaminan pelayanan yang dilakukan oleh Pemerintah (program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) dan bila BPJS belum menjangkau ke tingkat Desa, jaminan kesehatan dapat dilakukan melalui kerja sama Kabupaten/Kota dengan Badan Usaha Milik Negara atau dengan memberikan kartu jaminan kesehatan sesuai dengan kemampuan keuangan kawasan masing-masing yang diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
      3. memperoleh penerimaan lainnya yang sah.
    • Ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah
      Aturan sebelumnya (Pasal 27 dan 28 PP No 72 Tahun 2005 tentang Desa yang menjadi dasar praktik pemberian penghasilan untuk Kepala Desa dan Perangkat Desa. Pasal 27 menyatakan: "Kepala Desa dan Perangkat Desa diberikan penghasilan tetap setiap bulan dan/atau pertolongan lainnya sesuai dengan kemampuan keuangan desa" (ayat 1); "Penghasilan tetap dan/atau perlindungan lainnya yang diterima Kepala Desa dan Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap tahun dalam APBDesa" (ayat 2); dan "Penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sama dengan Upah Minimum Regional Kabupaten/Kota" (ayat 3). Dalam klarifikasi pasal ini dinyatakan bahwa perangkat desa yang mendapatkan penghasilan tetap dalam ketentuan ini tidak termasuk Sekretaris Desa yang berstatus PNS. Sedangkan Pasal 28 menyatakan: "Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa diatur dengan perda Kabupaten/Kota" (ayat 1); Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya memuat a. rincian jenis penghasilan; b. rincian jenis pinjaman; c. penentuan besarnya dan pembebanan pinjaman penghasilan dan/atau pinjaman.Jika dibandingkan dengan PP No 72 Tahun 2005, maka ada beberapa bahan di UU Desa yang perlu diperhatikan, ialah:

      1. sumber penghasilan. Frasa di pasal 66 ayat 2 yang menyebutkan sumber dari penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat Desa yakni frasa "dana perimbangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diterima oleh Kabupaten/Kota dan ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diterima oleh Kabupaten/Kota". Jika dikaitkan dengan pasal 72 ayat 1 bab c dan ayat 4 yang menyebutkan bahwa salah satu sumber pendapatan Desa yakni "alokasi dana Desa paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus", maka frasa di pasal 66 ayat 2 ini mampu mempunyai dua makna, ialah: (i) makna pertama: alokasi dana Desa pribadi dibagi ke masing-masing Desa sesuai dengan formula yang telah ditetapkan. Jika makna ini yang digunakan, maka alokasi untuk penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat Desa ada di alokasi dana Desa yang diterima oleh Desa yang kemudian dicatat sebagai penerimaan APBDesa. Implikasinya, penentuan besarnya penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat Desa ada di tingkat Desa, sebab proses pembuatan keputusanya terkait dengan (ii) makna kedua: alokasi dana Desa yang dibagi ke masing-masing Desa sesuai formula yang telah ditetapkan adalah alokasi yang telah dikurangi dengan kebutuhan anggaran untuk penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat Desa, dan selanjutnya alokasi ini dicantumkan di bab Belanja Tidak Langsung dari APBD Kabupaten/Kota. Hal ini dilakukan sebab frasa "ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota" dimaknai bahwa penghasilan tetap bagi Kepala Desa dan perangkat Desa ditetapkan oleh pemerintah Kabupaten/Kota karena secara eksplisit besarannya dicantumkan di dalam APBD Kabupaten/Kota. Konsekuensinya, keputusan besaran penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat Desa ada di tingkat Kabupaten/Kota.
        Hal ini berbeda dengan pasal 27 PP No 72 Tahun yang secara eksplisit menyebutkan bahwa penghasilan tetap setiap bulan dan/atau perlindungan lainnya sesuai dengan kemampuan keuangan desa yang ditetapkan dalam APBDesa, atau sama dengan makna pertama dari pasal 66 ayat 2.

      2. batasan minimal penghasilan. Pasal 66 UU Desa tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai batas minimal penghasilan tetap bagi Kepala Desa dan perangkat Desa. Hal ini berbeda dengan ketentuan sebelumnya, yaitu pasal 27 PP No 72 Tahun 2005 yang secara eksplisit menyebutkan Upah Minimum regional (UMR) Kabupaten/Kota sebagai jumlah minimal penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat Desa.

      3. bentuk sumbangan. Pasal 66 ayat (3) menyebutkan bahwa selain mendapatkan penghasilan tetap, Kepala Desa dan perangkat Desa mendapatkan dukungan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, sedangkan pasal 66 ayat (4) menyebutkan bahwa Kepala Desa dan perangkat Desa mendapatkan jaminan kesehatan. Pertanyaannya: (i) bentuk perlindungan apa saja yang berhak diterima oleh Kepala Desa dan perangkat Desa? (ii) Apakah jaminan kesehatan termasuk dari tunjangan ? Pertanyaan ini muncul karena tidak ada ketentuan lebih lanjut yang mengatur mengenai dukungan dan tidak ada embel-embel gosip yang mampu diperoleh dari bab penjelasan pasal ini.

      4. penerimaan lainnya yang sah. Di bagian final pasal 66 ayat (4) terdapat frasa "dan mampu memperoleh penerimaan lainnya yang sah", namun tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini, baik di pasal selanjutnya maupun di bagian penjelasan.

      5. penerimaan Desa yang bersumber dari hasil tanah bengkok. Pasal 72 ayat 1 yang menyebutkan bahwa salah satu sumber pendapatan asli Desa adalah "hasil aset" membawa konsekuensi hasil dari tanah bengkok (yang merupakan aset Desa) harus diadministrasikan sebagai penerimaan Desa di dokumen APBDesa. Di sisi lain, praktik di lapangan, hasil tanah bengkok ini merupakan sumber penghasilan dari Kepala Desa dan perangkat Desa dan praktik ini sudah dilaksanakan semenjak dahulu. Bila merunut pada ketentuan UU Desa ini, maka implikasinya, penghasilan Kepala Desa dan perangkat Desa berpotensi berkurang, alasannya tanah bengkok tidak lagi jadi sumber sumber penghasilan yang hanya bisa dinikmati oleh Kepala Desa dan perangkat Desa saja. Kondisi ini yang perlu dipertimbangkan di dalam menyusun ketentuan lebih lanjut.

      6. insentif bagi RT dan RW. Di dalam klarifikasi pasal 74 ayat (1) disebutkan bahwa Desa bisa menganggarkan alokasi untuk insentif RT dan RW dengan justifikasi RT dan RW berperan dalam penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat. Justifikasi ini mampu diterima, namun demikian ketentuan ini berpotensi menggerus alokasi belanja untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dalam kaitannya dengan adanya potensi perilaku budget maximizer dari elit Desa.

      7. Ketentuan lebih lanjut. Pasal 66 ayat 5 memandatkan adanya Peraturan Pemerintah mengenai besaran penghasilan tetap, derma dan jaminan kesehatan. Sedangkan PP 72 Tahun 2005 memandatkan ketentuan lebih lanjut terkait jenis penghasilan, jenis pemberian dan besaran penghasilan/santunan diatur dalam perda Kabupaten/Kota. Ketentuan di PP 72 Tahun 2005 lebih lebih membuka untuk mengakomodasi situasi dan kondisi setempat dan tidak ada penyeragaman secara nasional sebagaimana yang terdapat di UU Desa ini. Oleh alasannya itu, penyusunan Peraturan Pemerintah yang dimandatkan oleh pasal 66 ayat 5 ini perlu dilakukan secara hati-hati dikarenakan beragamnya kondisi Kabupaten/Kota di Indonesia serta perlu mempertimbangkan hal-hal yang telah dibahas di poin a hingga dengan e diatas. Selain itu, akan lebih baik jika Peraturan Pemerintah tersebut mempunyai konsep remunerasi bagi Kepala Desa dan Perangkat Desa sehingga akan lebih gampang untuk merumuskan bentuk-bentuk santunan dan penerimaan lainnya yang sah.

4. Penatausahaan Keuangan Desa

Pasal 75 menjelaskan bahwa Kepala Desa yakni pemegang kekuasaan pengelolaan Keuangan Desa dan dalam pelaksanaannya Kepala Desa menguasakan sebagian kekuasaannya kepada perangkat Desa. Pasal 75 ayat (5) memandatkan disusunnya Peraturan Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut mengenai keuangan Desa.
Pasal 75
(1) Kepala Desa yakni pemegang kekuasaan pengelolaan Keuangan Desa.
(2) Dalam melakukan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa menguasakan sebagian kekuasaannya kepada perangkat Desa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Keuangan Desa diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Penjelasan
Cukup Jelas
Pembahasan di dewan perwakilan rakyat
Rumusan pasal yang berbeda dengan rumusan pasal yang diajukan oleh pemerintah, terutama di ayat (2), dengan perbandingan sebagai berikut:
RUU UU Desa Keterangan
(1) Kepala Desa yaitu pemegang kekuasaan pengelolaan Keuangan Desa. (1) Kepala Desa yakni pemegang kekuasaan pengelolaan Keuangan Desa. Rumusan tetap
(2) Dalam melakukan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa mampu melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya yang berupa perencanaan, penganggaran, penatausahaan dan pelaporan kepada sekretaris desa sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Dalam melakukan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa menguasakan sebagian kekuasaannya kepada perangkat Desa. Ada perubahan redaksional namun kapan perubahan ini terjadi tidak mampu ditelusuri
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Keuangan Desa diatur dalam Peraturan Pemerintah. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Keuangan Desa diatur dalam Peraturan Pemerintah. Rumusan tetap

Namun demikian, proses pembahasan yang menimbulkan terjadinya perubahan redaksional ayat (20) tidak ditemukan di dalam dokumen risalah rapat.

Tanggapan-Tanggapan:

  • Bentuk pengelolaan keuangan Desa belum terang.
    Pasal 75 ayat 1 dan 2 menyebutkan bahwa pemegang kekuasaan pengelolaan Keuangan Desa dan dalam pelaksanaannya Kepala Desa menguasakan sebagian kekuasaannya kepada perangkat Desa. Dari redaksional ini, belum tergambar secara terang apa yang dimaksud dari pasal ini.

    Pertanyaan yang muncul terkait pasal 75 ini ialah terkait dengan ruang lingkup pengelolaan keuangan Desa. Di bagian tanggapan 6.1.2 yang membahas pasal 71 telah disebutkan bahwa ketentuan mengenai ruang lingkup keuangan Desa yang tidak terperinci alasannya ruang lingkup menurut obyek (pendapatan, belanja dan pembiayaan) dan berdasarkan proses (pengelolaan keuangan Desa). Jika dikaitkan dengan frasa "pengelolaan keuangan Desa" yang ada di pasal 75 ayat 1 ini, maka makna dari frasa "pengelolaan keuangan Desa" belum bisa dipahami dengan terperinci. Jika dibandingkan dengan naskah RUU yang diajukan oleh pemerintah, maka di pasal 61 ayat (2) disebutkan ruang lingkup pengelolaan keuangan desa, yang mencakup perencanaan, penganggaran, penatausahaan dan pelaporan. Apakah makna ruang lingkup pengelolaan keuangan Desa di pasal 75 ayat 1 sama dengan makna ruang lingkup pengelolaan keuangan Desa di naskah RUU-nya?

    Sebagai perbandingan, Pasal 156 ayat (2) UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur ihwal ruang lingkup pengelolaan keuangan daerah, dengan redaksional "Dalam melakukan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala kawasan melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya yang berupa perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, serta pengawasan keuangan kawasan kepada para pejabat perangkat tempat".

  • Belum ada ketentuan mengenai sistem pengendalian intern.
    Sistem pengendalian intern merupakan tata kelola standar yang harus ada untuk memastikan pengelolaan keuangan dilaksanakan dengan baik, yakni mekanisme check and balances di dalam pengelolaan keuangan dimana ada pemisahan peran antara yang memerintahkan, menguji, dan yang mendapatkan/mengeluarkan uang. Sayangnya, UU Desa tidak secara eksplisit mengatur mengenai hal ini, berbeda dengan UU No 32 Tahun 2004 yang secara eksplisit mengatur implementasi sistem pengendalian intern di dalam pengelolaan keuangan kawasan sebagaimana tercantum di dalam pasal 156 (3) yang berbunyi "Pelimpahan sebagian atau seluruh kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada prinsip pemisahan kewenangan antara yang memerintahkan, menguji, dan yang mendapatkan/mengeluarkan uang"

    Ketentuan lebih lanjut. Pasal 75 ayat 3 memandatkan adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai keuangan Desa. Penyusunan Peraturan Pemerintah ini perlu mempertimbangan dua informasi diatas.


5. Aset Desa

Di dalam ketentuan umum, disebutkan bahwa Aset Desa adalah barang milik Desa yang berasal dari kekayaan orisinil Desa, dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau perolehan hak lainnya yang sah. Pasal 76 menyebutkan bahwa Aset Desa mampu berupa tanah kas Desa, tanah ulayat, pasar Desa, pasar hewan, tambatan bahtera, bangunan Desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik Desa, mata air milik Desa, pemandian umum, dan aset lainnya milik Desa.
Dalam sub tema ini juga akan disampaikan klausul yang menjelaskan ihwal asas dan tujuan pengelolaan kekayaan Desa.
Pasal 76
(1) Aset Desa dapat berupa tanah kas Desa, tanah ulayat, pasar Desa, pasar binatang, tambatan perahu, bangunan Desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik Desa, mata air milik Desa, pemandian umum, dan aset lainnya milik Desa.
(2) Aset lainnya milik Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
a. kekayaan Desa yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
b. kekayaan Desa yang diperoleh dari hibah dan dukungan atau yang sejenis;
c. kekayaan Desa yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak dan lain-lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-usul;
d. hasil kolaborasi Desa; dan
e. kekayaan Desa yang berasal dari perolehan lainnya yang sah.
(3) Kekayaan milik Pemerintah dan Pemerintah Daerah berskala lokal Desa yang ada di Desa dapat dihibahkan kepemilikannya kepada Desa.
(4) Kekayaan milik Desa yang berupa tanah disertifikatkan atas nama Pemerintah Desa.
(5) Kekayaan milik Desa yang telah diambil alih oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dikembalikan kepada Desa, kecuali yang sudah digunakan untuk akomodasi umum.
(6) Bangunan milik Desa harus dilengkapi dengan bukti status kepemilikan dan ditatausahakan secara tertib.
Penjelasan
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "dukungan" adalah termasuk tanah wakaf sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup terperinci.
Ayat (3)
Cukup terang.
Ayat (4)
Cukup terang.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup terang.
Pasal 77
(1) Pengelolaan kekayaan milik Desa dilaksanakan menurut asas kepentingan umum, fungsional, kepastian aturan, keterbukaan, efisiensi, efektivitas, akuntabilitas, dan kepastian nilai ekonomi.
(2) Pengelolaan kekayaan milik Desa dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat Desa serta meningkatkan pendapatan Desa.
(3) Pengelolaan kekayaan milik Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibahas oleh Kepala Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa menurut tata cara pengelolaan kekayaan milik Desa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Penjelasan
Cukup terang.

Pembahasan di dewan perwakilan rakyat

Secara umum pembahasan Pasal 76 dan 77 yang mengatur wacana aset desa berjalan dengan lancar. Hal ini mampu terlihat dari perbandingan antara rumusan yang diajukan pemerintah, rumusan RUU dan rumusan yang disepakati.

Tanggapan-Tanggapan:

  • Mekanisme pengalihan kepemilikan aset belum diatur secara memadai.
Pasal 76 ayat (3) dan (5) menyebutkan ihwal pengalihan kepemilikan aset, adalah kekayaan milik Pemerintah dan Pemerintah Daerah berskala lokal Desa yang ada di Desa mampu dihibahkan kepemilikannya kepada Desa. Jika dilihat kondisi di lapangan, banyak aset dari Pemerintah Pusat yang berlokasi di Desa, khususnya yang berasal dari acara nasional, baik yang memakai mekanisme Dana Alokasi Khusus dan dana Tugas Pembantuan. Contohnya, aset yang berasal dari program PNPM, antara lain bangunan Pos Kesehatan Desa, bangunan Posyandu, jembatan, irigasi, dan lain sebagainya. Aset-aset ini berpotensi tidak dapat berfungsi dengan baik sebab minimnya pemeliharaan. Sebenarnya Desa dapat menganggarkan biaya pemeliharaan di dalam APB Desa, namun terkendala dengan status aset yang masih merupakan aset pemerintah pusat. Jika Desa dipaksakan menganggarkan, maka dapat dianggap sebagai bentuk pelanggaran karena melampaui kewenangan yang dimiliki. Di sisi lain, warga Desa sangat membutuhkan aset tersebut berfungsi dengan baik.
Selama ini, proses manajemen pengalihan status aset dari pemerintah sentra ke pemerintah tempat/Desa masih terkendala oleh proses administrasi. Sayangnya, UU Desa ini tidak secara eksplisit mengatur mekanisme pengalihan kepemilikan aset yang dapat digunakan oleh mengatasi hambatan manajemen pengalihan aset. ***
Diberdayakan oleh Blogger.
 
Top