1. Pengantar
Perdebatan soal bentuk dan jenis kewenangan lokal desa menurut hak asal-permintaan, dan kewenangan desa berskala lokal sampai ketika ini masih terus bergulir, dan bahkan tidak sedikit kalangan pemerintahan kawasan merasa keberatan atas banyaknya kewenangan yang dimiliki desa, dan pada dikala yang sama, pemerintah pusat melalui UU No. 23/2014 mengurangi kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam urusan perijinan dan pendidikan SLTA. Atas kondisi tersebut, masing-masing tempat seringkali menafsirkan sendiri soal kewenangan yang dimiliki desa tersebut. Hal ini disebabkan penafsiran terkait kewenangan tersebut mempunyai konsekwensi pribadi dan tidak pribadi terhadap cakupan kekuasaan atas pengusulan, perencanaan pembangunan dan penggunaan anggaran negara di desa. Pada saat yang sama, tata kelola desa berada dalam dua kutub kewenangan yang bersifat hirarkis.
Pertama, kewenangan di bidang pemerintahan berada di kutub kendali Kementerian Dalam Negeri, kedua, kewenangan di bidang pembangunan desa dan kawasan perdesaan di bawah naungan Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi.
Kedua kutub tersebut saling berebut saling berebut kendali terhadap desa, hal ini bisa dilihat dari aneka macam dokumen kebijakan yang di terbitkan oleh dua kementerian tersebut yang saling overlapting (tumpang tindih). Kondisi ini tentu sangat “mengganggu” kewenangan yang bersifat rekognisi yang dimiliki desa. Atas dilema tersebut, penulis sedikit membeberkan sekaligus memetakan kewenangan yang dimiliki desa, sebagaimana yang dimandatkan dalam UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa.
Sekedar merefresh ingatan bahwa dalam UU No.6/2014 tersebut pada ketentuan umumnya mendefinisikan sekaligus menjelaskan bahwa “Desa yakni desa dan desa budbahasa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, yakni kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal permintaan, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Defenisi tersebut oleh penulis dipahami sebagai adanya pengakuan secara substantif ihwal kedaulatan desa, bahkan secara radikal dapat dipahami sebagai akreditasi (bukan santunan) kewenangan pemerintah pusat, dan pemerintah tempat terhadap keberadaan desa. Hal ini dipertegas dalam definisi Kewenangan Desa yang dijelaskan dalam UU No.6/2014 bahwa kewenangan desa ialah “kewenangan yang dimiliki Desa mencakup kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, Pembinaan Kemasyarakatan Desa, dan Pemberdayaan Masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal seruan dan adab istiadat Desa”.
Pengakuan soal empat kewenangan tersebut, jikalau di konteks-kan dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah tempat, maka posisi otonomi desa, secara politik yaitu equal, dimana prinsip desentralisasi, dekonsentrasi, delegasi dan peran pembantuan juga dilaksanakan di desa.
Dengan kata lain, posisi politik dan anggaran desa jikalau dilihat dari 4 bentuk dan atau jenis kewenangan tersebut, sangat otonom, strategis dan setara dengan posisi pemerintah tempat bila berhadapan dengan pemerintah pusat.
2. Memahami Kewenangan
Secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan yang dalam bahasa Belanda disebut “bevoegdheid” yang berarti wewenang atau berkuasa. Wewenang merupakan bab yang sangat penting dalam literasi politik-kekuasaan dan Hukum Tata Pemerintahan atau Hukum Administrasi, alasannya adalah suatu pemerintahan atau organisasi pemerintah dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Keabsahan tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam konstitusi maupun regulasi turunannya, mirip peraturan perundang-undangan.
Jika mengacu pada pandangan SF. Marbun (1997), Perihal kewenangan mampu dilihat dari Konstitusi Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara, mirip halnya desa dalam menjalankan fungsinya. Dengan kata lain, wewenang desa yaitu kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melaksanakan korelasi dan perbuatan hukum[1]
Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum, seperti halnya bagi desa. Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan harus mempunyai legitimasi, yakni kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dengan demikian, substansi asas legalitas yakni wewenang, adalah suatu kemampuan untuk melaksanakan suatu tindakan-tindakan hukum tertentu.
Pengertian kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1989) diartikan sama dengan wewenang, yakni hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Hassan Shadhily menerjemahkan wewenang (authority) sebagai hak atau kekuasaan memperlihatkan perintah atau bertindak untuk menghipnotis tindakan orang lain, semoga sesuatu dilakukan sesuai dengan yang diinginkan[2]. Lebih lanjut Hassan Shadhily memperjelas terjemahan authority dengan memberikan suatu pengertian ihwal “tunjangan wewenang (delegation of authority)”. Delegation of authority yakni proses penyerahan wewenang dari seorang pimpinan (manager) kepada bawahannya (subordinates) yang disertai timbulnya tanggungjawab untuk melaksanakan peran tertentu.
Dengan menggunakan pendekatan tersebut di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa kewenangan yang dimiliki desa merupakan proses delegation of authoritydan proses decentralization of powerdilaksanakan melalui langkah-langkah konstitusional.
Prajudi Atmosudirdjo (1981) menyebutkan bahwa kewenangan yaitu apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari Kekuasaan Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang yakni kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak aturan publik”[3].
Jika merujuk pada defenisi UU No. 6/2014, maka kewenangan menurut hak asal ajakan yaitu hak yang merupakan warisan yang masih hidup dan prakarsa Desa atau prakarsa masyarakat Desa sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat. Artinya bahwa kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang dimiliki desa, bukan karena pinjaman dari pemerintah pusat, melainkan kewenangan yang bersifat otonom hasil dari rahim riwayat desa tersebut.
Hal ini tentu saja berbeda dengan Kewenangan lokal berskala Desa, yaitu kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa yang telah dijalankan oleh Desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh Desa atau yang muncul alasannya adalah perkembangan Desa dan prakarsa masyarakat Desa, konsep kewenangan ini didasari pada prinsip desentralisasi, dan delegasi, dekonsentrasi.
3. Apa Saja Ruang Lingkup Kewenangan Berdasarkan Hak Asal –Usul?
UU No. 6/2014 merupakan lompatan besar adanya pengesahan kedaulatan desa. Kebijakan ini sangat progresif, alasannya membuka terusan dan kekerabatan antara negara dan masyarakat desa. Dimana selama ini kekerabatan tersebut sangat timpang dan bersifat subordinat, sehingga melumpuhkan kreatifitas dan penemuan desa dalam membangun dirinya dan masyarakatnya. Melalui UU No. 6/2014, khususnya Permendes No.1/2015, negara mengakui adanya kewenangan desa. Dimana secara eksplisit dijelaskan bahwa ruang lingkup kewenangan berdasarkan hak asal seruan Desa mencakup:
a. sistem organisasi perangkat Desa;
b. sistem organisasi masyarakat adat;
c. training kelembagaan masyarakat;
d. pelatihan forum dan aturan akhlak;
e. pengelolaan tanah kas Desa;
f. pengelolaan tanah Desa atau tanah hak milik Desa yang memakai sebutan setempat;
g. pengelolaan tanah bengkok;
h. pengelolaan tanah pecatu;
i. pengelolaan tanah titisara; dan
j. pengembangan peran masyarakat Desa.
Kewenangan menurut hak asal usul desa tersebut di atas ( point a sampai j) tidak lagi (sekedar) mencerminkan (bayangan), akan tetapi menjadi positif soal adanya legitimasi desa dalam tata kelola pemerintahan, tata kelola masyarakat dan tata kelola aset desa. Mengacu pada ruang lingkup kewenangan yang dimiliki tersebut, maka tantangan yang harus dilewati oleh desa yakni, memastikan dengan seluruh kewenangan yang dimiliki tersebut mampu progresif membangun dan menyejahterakan masyarakat desanya.
Selain menjelaskan soal kewenangan hak asal undangan desa, pada Pasal 3 (Permendes No. 1/2015), juga dijelaskan soal kewenangan menurut hak asal ajakan Desa budpekerti mencakup:
a. penataan sistem organisasi dan kelembagaan masyarakat akhlak;
b. pranata hukum etika;
c. pemilikan hak tradisional;
d. pengelolaan tanah kas Desa budpekerti;
e. pengelolaan tanah ulayat;
f. kesepakatan dalam kehidupan masyarakat Desa budpekerti;
g. pengisian jabatan kepala Desa adab dan perangkat Desa etika; dan
h. periode jabatan kepala Desa adab.
Decentralization of power dan delegation of authority dalam UU No. 6/2014 diperkuat dengan prinsip rekognisi. Artinya siapapun dalam NKRI ini, termasuk pemerintah pusat memperlihatkan pengukuhan terhadap seluruh kewenangan yang dimiliki desa, dimana konsekwensi dari pengakuan tersebut, adanya jaminan politik-anggaran desa menjadi bagian dari penganggaran nasional (APBN). Hal ini juga yang mandatkan dalam Pasal 14, bahwa pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota harus mengakui, menghormati dan melindungi kewenangan berdasarkan hak asal usul.
4. Apa itu Kewenangan Lokal Berskala Desa?
Selain menunjukkan kepastian jaminan adanya kewenangan berdasarkan hak asal-permintaan, negara juga menawarkan jaminan adanya kewenangan lokal yang berskala desa. Hal ini di atur dalam Pasal 5 (bab III), dimana kriteria kewenangan lokal berskala Desa meliputi:
a. kewenangan yang mengutamakan acara pelayanan dan pemberdayaan masyarakat;
b. kewenangan yang mempunyai lingkup pengaturan dan kegiatan hanya di dalam wilayah dan masyarakat Desa yang mempunyai dampak internal Desa;
c. kewenangan yang berkaitan dengan kebutuhan dan kepentingan sehari-hari masyarakat Desa;
d. aktivitas yang telah dijalankan oleh Desa atas dasar prakarsa Desa;
e. program acara pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dan pihak ketiga yang telah diserahkan dan dikelola oleh Desa; dan
f. kewenangan lokal berskala Desa yang telah diatur dalam peraturan perundang-seruan perihal pembagian kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota
Kewenangan lokal berskala desa tersebut (poin a sampai f) merupakan bentuk koreksi kritis terhadap perangai kebijakan pemerintah kawasan (yang selama ini) menyebabkan sebagai obyek pembangunan dan bukan sebagai subyek. Pengakuan kewenangan lokal berskala desa, juga menjadi solusi alternatif meretas masalah terjadinya overlapting acara dan kebijakan antar pemerintah daerah kabupaten, provinsi dan pusat ihwal desa. Melalui kewenangan lokal berskala desa tersebut, pemerintah sentra menawarkan warning kepada pemerintah daerah biar tidak lagi “mengakibatkan desa sebagai lokasi proyek” pembangunan. Perencanaan pembangunan yang di rancang oleh Satuan Kerja Pemda (SKPD) dilarang mengambil alih kewenangan desa, dan demikian sebaliknya, bahwa desa dalam merencanakan pembangunan desa, tidak boleh mengambil kewenangan yang seharusnya menjadi porsi pemerintah kabupaten atau provinsi.
Hal ini seperti yang dipertegas pada Pasal 7 Kewenangan lokal berskala Desa meliputi:
1. bidang pemerintahan Desa,
2. pembangunan Desa;
3. kemasyarakatan Desa; dan
4. pemberdayaan masyarakat Desa.
Pasal 8 Kewenangan lokal berskala Desa di bidang pemerintahan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a antara lain mencakup:
1. penetapan dan penegasan batas Desa;
2. pengembangan sistem administrasi dan isu Desa;
3. pengembangan tata ruang dan peta sosial Desa;
4. pendataan dan pengklasifikasian tenaga kerja Desa;
5. pendataan penduduk yang bekerja pada sektor pertanian dan sektor non pertanian;
6. pendataan penduduk menurut jumlah penduduk usia kerja, angkatan kerja, pencari kerja, dan tingkat partisipasi angkatan kerja;
7. pendataan penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja berdasarkan lapangan pekerjaan jenis pekerjaan dan status pekerjaan;
8. pendataan penduduk yang bekerja di luar negeri;
9. penetapan organisasi Pemerintah Desa;
10. pembentukan Badan Permusyawaratan Desa;
11. penetapan perangkat Desa;
12. penetapan BUM Desa;
13. penetapan APB Desa;
14. penetapan peraturan Desa;
Perdebatan soal bentuk dan jenis kewenangan lokal desa menurut hak asal-permintaan, dan kewenangan desa berskala lokal sampai ketika ini masih terus bergulir, dan bahkan tidak sedikit kalangan pemerintahan kawasan merasa keberatan atas banyaknya kewenangan yang dimiliki desa, dan pada dikala yang sama, pemerintah pusat melalui UU No. 23/2014 mengurangi kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam urusan perijinan dan pendidikan SLTA. Atas kondisi tersebut, masing-masing tempat seringkali menafsirkan sendiri soal kewenangan yang dimiliki desa tersebut. Hal ini disebabkan penafsiran terkait kewenangan tersebut mempunyai konsekwensi pribadi dan tidak pribadi terhadap cakupan kekuasaan atas pengusulan, perencanaan pembangunan dan penggunaan anggaran negara di desa. Pada saat yang sama, tata kelola desa berada dalam dua kutub kewenangan yang bersifat hirarkis.
Pertama, kewenangan di bidang pemerintahan berada di kutub kendali Kementerian Dalam Negeri, kedua, kewenangan di bidang pembangunan desa dan kawasan perdesaan di bawah naungan Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi.
Kedua kutub tersebut saling berebut saling berebut kendali terhadap desa, hal ini bisa dilihat dari aneka macam dokumen kebijakan yang di terbitkan oleh dua kementerian tersebut yang saling overlapting (tumpang tindih). Kondisi ini tentu sangat “mengganggu” kewenangan yang bersifat rekognisi yang dimiliki desa. Atas dilema tersebut, penulis sedikit membeberkan sekaligus memetakan kewenangan yang dimiliki desa, sebagaimana yang dimandatkan dalam UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa.
Sekedar merefresh ingatan bahwa dalam UU No.6/2014 tersebut pada ketentuan umumnya mendefinisikan sekaligus menjelaskan bahwa “Desa yakni desa dan desa budbahasa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, yakni kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal permintaan, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Defenisi tersebut oleh penulis dipahami sebagai adanya pengakuan secara substantif ihwal kedaulatan desa, bahkan secara radikal dapat dipahami sebagai akreditasi (bukan santunan) kewenangan pemerintah pusat, dan pemerintah tempat terhadap keberadaan desa. Hal ini dipertegas dalam definisi Kewenangan Desa yang dijelaskan dalam UU No.6/2014 bahwa kewenangan desa ialah “kewenangan yang dimiliki Desa mencakup kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, Pembinaan Kemasyarakatan Desa, dan Pemberdayaan Masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal seruan dan adab istiadat Desa”.
Pengakuan soal empat kewenangan tersebut, jikalau di konteks-kan dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah tempat, maka posisi otonomi desa, secara politik yaitu equal, dimana prinsip desentralisasi, dekonsentrasi, delegasi dan peran pembantuan juga dilaksanakan di desa.
Dengan kata lain, posisi politik dan anggaran desa jikalau dilihat dari 4 bentuk dan atau jenis kewenangan tersebut, sangat otonom, strategis dan setara dengan posisi pemerintah tempat bila berhadapan dengan pemerintah pusat.
2. Memahami Kewenangan
Secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan yang dalam bahasa Belanda disebut “bevoegdheid” yang berarti wewenang atau berkuasa. Wewenang merupakan bab yang sangat penting dalam literasi politik-kekuasaan dan Hukum Tata Pemerintahan atau Hukum Administrasi, alasannya adalah suatu pemerintahan atau organisasi pemerintah dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Keabsahan tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam konstitusi maupun regulasi turunannya, mirip peraturan perundang-undangan.
Jika mengacu pada pandangan SF. Marbun (1997), Perihal kewenangan mampu dilihat dari Konstitusi Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara, mirip halnya desa dalam menjalankan fungsinya. Dengan kata lain, wewenang desa yaitu kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melaksanakan korelasi dan perbuatan hukum[1]
Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum, seperti halnya bagi desa. Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan harus mempunyai legitimasi, yakni kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dengan demikian, substansi asas legalitas yakni wewenang, adalah suatu kemampuan untuk melaksanakan suatu tindakan-tindakan hukum tertentu.
Pengertian kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1989) diartikan sama dengan wewenang, yakni hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Hassan Shadhily menerjemahkan wewenang (authority) sebagai hak atau kekuasaan memperlihatkan perintah atau bertindak untuk menghipnotis tindakan orang lain, semoga sesuatu dilakukan sesuai dengan yang diinginkan[2]. Lebih lanjut Hassan Shadhily memperjelas terjemahan authority dengan memberikan suatu pengertian ihwal “tunjangan wewenang (delegation of authority)”. Delegation of authority yakni proses penyerahan wewenang dari seorang pimpinan (manager) kepada bawahannya (subordinates) yang disertai timbulnya tanggungjawab untuk melaksanakan peran tertentu.
Dengan menggunakan pendekatan tersebut di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa kewenangan yang dimiliki desa merupakan proses delegation of authoritydan proses decentralization of powerdilaksanakan melalui langkah-langkah konstitusional.
Prajudi Atmosudirdjo (1981) menyebutkan bahwa kewenangan yaitu apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari Kekuasaan Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang yakni kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak aturan publik”[3].
Jika merujuk pada defenisi UU No. 6/2014, maka kewenangan menurut hak asal ajakan yaitu hak yang merupakan warisan yang masih hidup dan prakarsa Desa atau prakarsa masyarakat Desa sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat. Artinya bahwa kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang dimiliki desa, bukan karena pinjaman dari pemerintah pusat, melainkan kewenangan yang bersifat otonom hasil dari rahim riwayat desa tersebut.
Hal ini tentu saja berbeda dengan Kewenangan lokal berskala Desa, yaitu kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa yang telah dijalankan oleh Desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh Desa atau yang muncul alasannya adalah perkembangan Desa dan prakarsa masyarakat Desa, konsep kewenangan ini didasari pada prinsip desentralisasi, dan delegasi, dekonsentrasi.
3. Apa Saja Ruang Lingkup Kewenangan Berdasarkan Hak Asal –Usul?
UU No. 6/2014 merupakan lompatan besar adanya pengesahan kedaulatan desa. Kebijakan ini sangat progresif, alasannya membuka terusan dan kekerabatan antara negara dan masyarakat desa. Dimana selama ini kekerabatan tersebut sangat timpang dan bersifat subordinat, sehingga melumpuhkan kreatifitas dan penemuan desa dalam membangun dirinya dan masyarakatnya. Melalui UU No. 6/2014, khususnya Permendes No.1/2015, negara mengakui adanya kewenangan desa. Dimana secara eksplisit dijelaskan bahwa ruang lingkup kewenangan berdasarkan hak asal seruan Desa mencakup:
a. sistem organisasi perangkat Desa;
b. sistem organisasi masyarakat adat;
c. training kelembagaan masyarakat;
d. pelatihan forum dan aturan akhlak;
e. pengelolaan tanah kas Desa;
f. pengelolaan tanah Desa atau tanah hak milik Desa yang memakai sebutan setempat;
g. pengelolaan tanah bengkok;
h. pengelolaan tanah pecatu;
i. pengelolaan tanah titisara; dan
j. pengembangan peran masyarakat Desa.
Kewenangan menurut hak asal usul desa tersebut di atas ( point a sampai j) tidak lagi (sekedar) mencerminkan (bayangan), akan tetapi menjadi positif soal adanya legitimasi desa dalam tata kelola pemerintahan, tata kelola masyarakat dan tata kelola aset desa. Mengacu pada ruang lingkup kewenangan yang dimiliki tersebut, maka tantangan yang harus dilewati oleh desa yakni, memastikan dengan seluruh kewenangan yang dimiliki tersebut mampu progresif membangun dan menyejahterakan masyarakat desanya.
Selain menjelaskan soal kewenangan hak asal undangan desa, pada Pasal 3 (Permendes No. 1/2015), juga dijelaskan soal kewenangan menurut hak asal ajakan Desa budpekerti mencakup:
a. penataan sistem organisasi dan kelembagaan masyarakat akhlak;
b. pranata hukum etika;
c. pemilikan hak tradisional;
d. pengelolaan tanah kas Desa budpekerti;
e. pengelolaan tanah ulayat;
f. kesepakatan dalam kehidupan masyarakat Desa budpekerti;
g. pengisian jabatan kepala Desa adab dan perangkat Desa etika; dan
h. periode jabatan kepala Desa adab.
Decentralization of power dan delegation of authority dalam UU No. 6/2014 diperkuat dengan prinsip rekognisi. Artinya siapapun dalam NKRI ini, termasuk pemerintah pusat memperlihatkan pengukuhan terhadap seluruh kewenangan yang dimiliki desa, dimana konsekwensi dari pengakuan tersebut, adanya jaminan politik-anggaran desa menjadi bagian dari penganggaran nasional (APBN). Hal ini juga yang mandatkan dalam Pasal 14, bahwa pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota harus mengakui, menghormati dan melindungi kewenangan berdasarkan hak asal usul.
4. Apa itu Kewenangan Lokal Berskala Desa?
Selain menunjukkan kepastian jaminan adanya kewenangan berdasarkan hak asal-permintaan, negara juga menawarkan jaminan adanya kewenangan lokal yang berskala desa. Hal ini di atur dalam Pasal 5 (bab III), dimana kriteria kewenangan lokal berskala Desa meliputi:
a. kewenangan yang mengutamakan acara pelayanan dan pemberdayaan masyarakat;
b. kewenangan yang mempunyai lingkup pengaturan dan kegiatan hanya di dalam wilayah dan masyarakat Desa yang mempunyai dampak internal Desa;
c. kewenangan yang berkaitan dengan kebutuhan dan kepentingan sehari-hari masyarakat Desa;
d. aktivitas yang telah dijalankan oleh Desa atas dasar prakarsa Desa;
e. program acara pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dan pihak ketiga yang telah diserahkan dan dikelola oleh Desa; dan
f. kewenangan lokal berskala Desa yang telah diatur dalam peraturan perundang-seruan perihal pembagian kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota
Kewenangan lokal berskala desa tersebut (poin a sampai f) merupakan bentuk koreksi kritis terhadap perangai kebijakan pemerintah kawasan (yang selama ini) menyebabkan sebagai obyek pembangunan dan bukan sebagai subyek. Pengakuan kewenangan lokal berskala desa, juga menjadi solusi alternatif meretas masalah terjadinya overlapting acara dan kebijakan antar pemerintah daerah kabupaten, provinsi dan pusat ihwal desa. Melalui kewenangan lokal berskala desa tersebut, pemerintah sentra menawarkan warning kepada pemerintah daerah biar tidak lagi “mengakibatkan desa sebagai lokasi proyek” pembangunan. Perencanaan pembangunan yang di rancang oleh Satuan Kerja Pemda (SKPD) dilarang mengambil alih kewenangan desa, dan demikian sebaliknya, bahwa desa dalam merencanakan pembangunan desa, tidak boleh mengambil kewenangan yang seharusnya menjadi porsi pemerintah kabupaten atau provinsi.
Hal ini seperti yang dipertegas pada Pasal 7 Kewenangan lokal berskala Desa meliputi:
1. bidang pemerintahan Desa,
2. pembangunan Desa;
3. kemasyarakatan Desa; dan
4. pemberdayaan masyarakat Desa.
Pasal 8 Kewenangan lokal berskala Desa di bidang pemerintahan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a antara lain mencakup:
1. penetapan dan penegasan batas Desa;
2. pengembangan sistem administrasi dan isu Desa;
3. pengembangan tata ruang dan peta sosial Desa;
4. pendataan dan pengklasifikasian tenaga kerja Desa;
5. pendataan penduduk yang bekerja pada sektor pertanian dan sektor non pertanian;
6. pendataan penduduk menurut jumlah penduduk usia kerja, angkatan kerja, pencari kerja, dan tingkat partisipasi angkatan kerja;
7. pendataan penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja berdasarkan lapangan pekerjaan jenis pekerjaan dan status pekerjaan;
8. pendataan penduduk yang bekerja di luar negeri;
9. penetapan organisasi Pemerintah Desa;
10. pembentukan Badan Permusyawaratan Desa;
11. penetapan perangkat Desa;
12. penetapan BUM Desa;
13. penetapan APB Desa;
14. penetapan peraturan Desa;
style="font-family: "verdana" , sans-serif;">15. penetapan kolaborasi antar-Desa;
16. bantuan izin penggunaan gedung pertemuan atau balai Desa;
17. pendataan potensi Desa;
18. tunjangan izin hak pengelolaan atas tanah Desa;
19. penetapan Desa dalam keadaan darurat mirip insiden peristiwa, konflik, rawan pangan, wabah penyakit, gangguan keamanan, dan kejadian luar biasa lainnya dalam skala Desa;
20. pengelolaan arsip Desa; dan
21. penetapan pos keamanan dan pos kesiapsiagaan lainnya sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sosial masyarakat Desa.
Pasal 9 Kewenangan lokal berskala Desa di bidang pembangunan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b mencakup:
1. pelayanan dasar Desa;
2. sarana dan prasarana Desa;
3. pengembangan ekonomi lokal Desa; dan
4. pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan Desa.
Pasal 10 Kewenangan lokal berskala Desa di bidang pelayanan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a antara lain meliputi:
1. pengembangan pos kesehatan Desa dan Polindes;
2. pengembangan tenaga kesehatan Desa;
3. pengelolaan dan training Posyandu melalui: 1) layanan gizi untuk balita; 2) pemeriksaan ibu hamil; 3) perlindungan kuliner tambahan; 4) penyuluhan kesehatan; 5) gerakan hidup higienis dan sehat; 6) penimbangan bayi; dan 7) gerakan sehat untuk lanjut usia.
4. training dan pengawasan upaya kesehatan tradisional;
5. pemantauan dan pencegahan penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif di Desa;
6. pembinaan dan pengelolaan pendidikan anak usia dini;
7. pengadaan dan pengelolaan sanggar belajar, sanggar seni budaya, dan perpustakaan Desa; dan
8. fasilitasi dan motivasi terhadap kelompok-kelompok belajar di Desa.
Pasal 11 Kewenangan lokal berskala Desa di bidang sarana dan prasarana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 aksara b antara lain meliputi:
1. pembangunan dan pemeliharaan kantor dan balai Desa;
2. pembangunan dan pemeliharaan jalan Desa;
3. pembangunan dan pemeliharaan jalan perjuangan tani;
4. pembangunan dan pemeliharaan embung Desa;
5. pembangunan energi gres dan terbarukan;
6. pembangunan dan pemeliharaan rumah ibadah;
7. pengelolaan pemakaman Desa dan petilasan;
8. pembangunan dan pemeliharaan sanitasi lingkungan;
9. pembangunan dan pengelolaan air bersih berskala Desa
10. pembangunan dan pemeliharaan irigasi tersier;
11. pembangunan dan pemeliharaan lapangan Desa;
12. pembangunan dan pemeliharaan taman Desa;
13. pembangunan dan pemeliharaan serta pengelolaan akses untuk budidaya perikanan; dan
14. pengembangan sarana dan prasarana produksi di Desa.
Pasal 12 Kewenangan lokal berskala Desa bidang pengembangan ekonomi lokal Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c antara lain meliputi:
1. pembangunan dan pengelolaan pasar Desa dan kios Desa;
2. pembangunan dan pengelolaan kawasan pelelangan ikan milik Desa;
3. pengembangan usaha mikro berbasis Desa;
4. pendayagunaan keuangan mikro berbasis Desa;
5. pembangunan dan pengelolaan keramba jaring apung dan sketsa ikan;
6. pembangunan dan pengelolaan lumbung pangan dan penetapan cadangan pangan Desa;
7. penetapan komoditas unggulan pertanian dan perikanan Desa;
8. pengaturan pelaksanaan penanggulangan hama dan penyakit pertanian dan perikanan secara terpadu;
9. penetapan jenis pupuk dan pakan organik untuk pertanian dan perikanan;
10. pengembangan benih lokal;
11. pengembangan ternak secara kolektif;
12. pembangunan dan pengelolaan energi mandiri;
13. pendirian dan pengelolaan BUM Desa;
14. pembangunan dan pengelolaan tambatan bahtera;
15. pengelolaan padang gembala;
16. pengembangan wisata Desa di luar rencana induk pengembangan pariwisata kabupaten/kota;
17. pengelolaan balai benih ikan;
18. pengembangan teknologi tepat guna pengolahan hasil pertanian dan perikanan; dan
19. pengembangan sistem usaha produksi pertanian yang bertumpu pada sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal.
Pasal 13 Kewenangan lokal berskala Desa di bidang kemasyarakatan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c mencakup:
1. membina keamanan, ketertiban dan ketenteraman wilayah dan masyarakat Desa;
2. membina kerukunan warga masyarakat Desa;
3. memelihara perdamaian, menangani konflik dan melaksanakan mediasi di Desa; dan
4. melestarikan dan menyebarkan tolong-menolong masyarakat Desa.
Pasal 14 Kewenangan lokal berskala Desa bidang pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 abjad d antara lain:
1. pengembangan seni budaya lokal;
2. pengorganisasian melalui pembentukan dan fasilitasi lembaga kemasyarakatan dan lembaga etika;
3. fasilitasi kelompok-kelompok masyarakat melalui: 1) kelompok tani; 2) kelompok nelayan; 3) kelompok seni budaya; dan 4) kelompok masyarakat lain di Desa.
4. tunjangan santunan sosial kepada keluarga fakir miskin;
5. fasilitasi terhadap kelompok-kelompok rentan, kelompok masyarakat miskin, perempuan, masyarakat budbahasa, dan difabel;
6. pengorganisasian melalui pembentukan dan fasilitasi paralegal untuk menawarkan sumbangan aturan kepada warga masyarakat Desa;
7. analisis kemiskinan secara partisipatif di Desa;
8. penyelenggaraan promosi kesehatan dan gerakan hidup bersih dan sehat;
9. pengorganisasian melalui pembentukan dan fasilitasi kader pembangunan dan pemberdayaan masyarakat;
10. peningkatan kapasitas melalui training perjuangan ekonomi Desa;
11. pendayagunaan teknologi tepat guna; dan
12. peningkatan kapasitas masyarakat melalui: 1) kader pemberdayaan masyarakat Desa; 2) kelompok usaha ekonomi produktif; 3) kelompok wanita; 4) kelompok tani; 5) kelompok masyarakat miskin; 6) kelompok nelayan; 7) kelompok pengrajin; 8) kelompok pemerhati dan pemberian anak; 9) kelompok perjaka; dan 10) kelompok lain sesuai kondisi Desa.
5. Bagaimana Cara Mengindentifikasi Kewenangan Desa?
Bupati/Walikota melakukan pengkajian untuk identifikasi dan inventarisasi kewenangan berdasarkan hak asal ajakan dan kewenangan lokal berskala Desa dengan cara:
a. inventarisasi daftar acara berskala lokal Desa yang ditangani oleh satuan kerja perangkat tempat atau program-acara satuan kerja perangkat daerah berbasis Desa;
b. identifikasi dan inventarisasi acara pemerintahan dan pembangunan yang sudah dijalankan oleh Desa; dan
c. membentuk Tim Pengkajian dan Inventarisasi terhadap jenis kewenangan menurut hak asal undangan dan kewenangan lokal berskala Desa.
Dalam hal identifikasi tersebut, Desa melakukan identifikasi terhadap aktivitas yang sudah ditangani dan kegiatan yang mampu ditangani tetapi belum dilaksanakan. Untuk memastikan hal tersebut, maka desa membentuk tim pengkajian dan inventarisasi kewenangan desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa. Tugas Tim Pengkajian dan Inventarisasi mencakup:
a. membuat rancangan daftar kewenangan berdasarkan hak asal permintaan dan kewenangan lokal berskala Desa berdasarkan hasil kajian;
b. melakukan pembahasan rancangan daftar kewenangan menurut hak asal ajakan dan kewenangan lokal berskala Desa;
c. pembahasan rancangan sebagaimana dimaksud pada abjad b harus melibatkan partisipasi Desa, unsur pakar dan pemangku kepentingan yang terkait; dan
d. menghasilkan rancangan daftar kewenangan menurut hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa.
Hasil rancangan daftar kewenangan ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota, serta Bupati/Walikota harus melakukan sosialisasi Peraturan Bupati/Walikota kepada Desa, yang diikuti proses fasilitasi penetapan daftar kewenangan di tingkat Desa.
Peran kepala desa dan BPD menjadi sangat penting dalam urusan pengkajian dan inventarisasi serta identifikasi kewenangan tersebut, dimana pada Pasal 19 disebutkan bahwa:
“Kepala Desa bantu-membantu BPD harus melibatkan masyarakat Desa melaksanakan musyawarah untuk memilih kewenangan menurut hak asal undangan dan kewenangan lokal berskala Desa dari daftar yang telah ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota sesuai dengan kebutuhan dan kondisi Desa”.
Lebih lanjut disebutkan pada Pasal 20, bahwa kepala Desa bantu-membantu BPD dapat menambah jenis kewenangan menurut hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa lainnya sesuai dengan prakarsa masyarakat, kebutuhan dan kondisi lokal Desa. Serta Kepala Desa memutuskan Peraturan Desa wacana kewenangan menurut hak asal ajakan dan kewenangan lokal berskala Desa (pasal 21).
6. Pungutan Desa yang di larang dan di bolehkan
Desa dilarang melakukan pungutan atas jasa layanan administrasi yang diberikan kepada masyarakat Desa. (2) Jasa layanan manajemen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup: a. surat pengantar; b. surat rekomendasi; dan c. surat keterangan.
Sedangkan kewenangan melaksanakan pungutan, sesuai Pasal 23 (1) disebutkan bahwa Desa berwenang melakukan pungutan atas jasa usaha mirip pemandian umum, wisata desa, pasar Desa, tambatan bahtera, keramba ikan, pelelangan ikan, dan lain-lain.
(2) Desa mampu menyebarkan dan memperoleh bagi hasil dari perjuangan bersama antara pemerintah Desa dengan masyarakat Desa.
7. Penutup
Kewenangan menurut hak asal seruan dan kewenangan desa berskala lokal desa, merupakan bentuk dan jenis kewenangan yang diakui oleh negara dalam rangka mempercepat proses DESA MEMBANGUN INDONESIA. Oleh alasannya itu desa harus mempunyai doktrin diri dan optimisme dalam menata dan membangun dirinya. Keberhasilan desa untuk berdiri dari keterpurukan dan keterbelakangan dikala seluruh stakeholders desa bersatu, bantu-membantu menjalankan seluruh kewenangan yang dimilikinya secara konsisten untuk kepentingan bersama, bukan untuk membangun kejayaan segelintir orang apalagi untuk kepentingan kepala desa dan perangkat desa semata.
Penulis ialah Pendobrak Desa
Sumber: https://www.karanganyar.desa.id/2017/11/17/memahami-kewenangan-desa-menurut-uu-desa/
16. bantuan izin penggunaan gedung pertemuan atau balai Desa;
17. pendataan potensi Desa;
18. tunjangan izin hak pengelolaan atas tanah Desa;
19. penetapan Desa dalam keadaan darurat mirip insiden peristiwa, konflik, rawan pangan, wabah penyakit, gangguan keamanan, dan kejadian luar biasa lainnya dalam skala Desa;
20. pengelolaan arsip Desa; dan
21. penetapan pos keamanan dan pos kesiapsiagaan lainnya sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sosial masyarakat Desa.
Pasal 9 Kewenangan lokal berskala Desa di bidang pembangunan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b mencakup:
1. pelayanan dasar Desa;
2. sarana dan prasarana Desa;
3. pengembangan ekonomi lokal Desa; dan
4. pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan Desa.
Pasal 10 Kewenangan lokal berskala Desa di bidang pelayanan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a antara lain meliputi:
1. pengembangan pos kesehatan Desa dan Polindes;
2. pengembangan tenaga kesehatan Desa;
3. pengelolaan dan training Posyandu melalui: 1) layanan gizi untuk balita; 2) pemeriksaan ibu hamil; 3) perlindungan kuliner tambahan; 4) penyuluhan kesehatan; 5) gerakan hidup higienis dan sehat; 6) penimbangan bayi; dan 7) gerakan sehat untuk lanjut usia.
4. training dan pengawasan upaya kesehatan tradisional;
5. pemantauan dan pencegahan penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif di Desa;
6. pembinaan dan pengelolaan pendidikan anak usia dini;
7. pengadaan dan pengelolaan sanggar belajar, sanggar seni budaya, dan perpustakaan Desa; dan
8. fasilitasi dan motivasi terhadap kelompok-kelompok belajar di Desa.
Pasal 11 Kewenangan lokal berskala Desa di bidang sarana dan prasarana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 aksara b antara lain meliputi:
1. pembangunan dan pemeliharaan kantor dan balai Desa;
2. pembangunan dan pemeliharaan jalan Desa;
3. pembangunan dan pemeliharaan jalan perjuangan tani;
4. pembangunan dan pemeliharaan embung Desa;
5. pembangunan energi gres dan terbarukan;
6. pembangunan dan pemeliharaan rumah ibadah;
7. pengelolaan pemakaman Desa dan petilasan;
8. pembangunan dan pemeliharaan sanitasi lingkungan;
9. pembangunan dan pengelolaan air bersih berskala Desa
10. pembangunan dan pemeliharaan irigasi tersier;
11. pembangunan dan pemeliharaan lapangan Desa;
12. pembangunan dan pemeliharaan taman Desa;
13. pembangunan dan pemeliharaan serta pengelolaan akses untuk budidaya perikanan; dan
14. pengembangan sarana dan prasarana produksi di Desa.
Pasal 12 Kewenangan lokal berskala Desa bidang pengembangan ekonomi lokal Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c antara lain meliputi:
1. pembangunan dan pengelolaan pasar Desa dan kios Desa;
2. pembangunan dan pengelolaan kawasan pelelangan ikan milik Desa;
3. pengembangan usaha mikro berbasis Desa;
4. pendayagunaan keuangan mikro berbasis Desa;
5. pembangunan dan pengelolaan keramba jaring apung dan sketsa ikan;
6. pembangunan dan pengelolaan lumbung pangan dan penetapan cadangan pangan Desa;
7. penetapan komoditas unggulan pertanian dan perikanan Desa;
8. pengaturan pelaksanaan penanggulangan hama dan penyakit pertanian dan perikanan secara terpadu;
9. penetapan jenis pupuk dan pakan organik untuk pertanian dan perikanan;
10. pengembangan benih lokal;
11. pengembangan ternak secara kolektif;
12. pembangunan dan pengelolaan energi mandiri;
13. pendirian dan pengelolaan BUM Desa;
14. pembangunan dan pengelolaan tambatan bahtera;
15. pengelolaan padang gembala;
16. pengembangan wisata Desa di luar rencana induk pengembangan pariwisata kabupaten/kota;
17. pengelolaan balai benih ikan;
18. pengembangan teknologi tepat guna pengolahan hasil pertanian dan perikanan; dan
19. pengembangan sistem usaha produksi pertanian yang bertumpu pada sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal.
Pasal 13 Kewenangan lokal berskala Desa di bidang kemasyarakatan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c mencakup:
1. membina keamanan, ketertiban dan ketenteraman wilayah dan masyarakat Desa;
2. membina kerukunan warga masyarakat Desa;
3. memelihara perdamaian, menangani konflik dan melaksanakan mediasi di Desa; dan
4. melestarikan dan menyebarkan tolong-menolong masyarakat Desa.
Pasal 14 Kewenangan lokal berskala Desa bidang pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 abjad d antara lain:
1. pengembangan seni budaya lokal;
2. pengorganisasian melalui pembentukan dan fasilitasi lembaga kemasyarakatan dan lembaga etika;
3. fasilitasi kelompok-kelompok masyarakat melalui: 1) kelompok tani; 2) kelompok nelayan; 3) kelompok seni budaya; dan 4) kelompok masyarakat lain di Desa.
4. tunjangan santunan sosial kepada keluarga fakir miskin;
5. fasilitasi terhadap kelompok-kelompok rentan, kelompok masyarakat miskin, perempuan, masyarakat budbahasa, dan difabel;
6. pengorganisasian melalui pembentukan dan fasilitasi paralegal untuk menawarkan sumbangan aturan kepada warga masyarakat Desa;
7. analisis kemiskinan secara partisipatif di Desa;
8. penyelenggaraan promosi kesehatan dan gerakan hidup bersih dan sehat;
9. pengorganisasian melalui pembentukan dan fasilitasi kader pembangunan dan pemberdayaan masyarakat;
10. peningkatan kapasitas melalui training perjuangan ekonomi Desa;
11. pendayagunaan teknologi tepat guna; dan
12. peningkatan kapasitas masyarakat melalui: 1) kader pemberdayaan masyarakat Desa; 2) kelompok usaha ekonomi produktif; 3) kelompok wanita; 4) kelompok tani; 5) kelompok masyarakat miskin; 6) kelompok nelayan; 7) kelompok pengrajin; 8) kelompok pemerhati dan pemberian anak; 9) kelompok perjaka; dan 10) kelompok lain sesuai kondisi Desa.
5. Bagaimana Cara Mengindentifikasi Kewenangan Desa?
Bupati/Walikota melakukan pengkajian untuk identifikasi dan inventarisasi kewenangan berdasarkan hak asal ajakan dan kewenangan lokal berskala Desa dengan cara:
a. inventarisasi daftar acara berskala lokal Desa yang ditangani oleh satuan kerja perangkat tempat atau program-acara satuan kerja perangkat daerah berbasis Desa;
b. identifikasi dan inventarisasi acara pemerintahan dan pembangunan yang sudah dijalankan oleh Desa; dan
c. membentuk Tim Pengkajian dan Inventarisasi terhadap jenis kewenangan menurut hak asal undangan dan kewenangan lokal berskala Desa.
Dalam hal identifikasi tersebut, Desa melakukan identifikasi terhadap aktivitas yang sudah ditangani dan kegiatan yang mampu ditangani tetapi belum dilaksanakan. Untuk memastikan hal tersebut, maka desa membentuk tim pengkajian dan inventarisasi kewenangan desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa. Tugas Tim Pengkajian dan Inventarisasi mencakup:
a. membuat rancangan daftar kewenangan berdasarkan hak asal permintaan dan kewenangan lokal berskala Desa berdasarkan hasil kajian;
b. melakukan pembahasan rancangan daftar kewenangan menurut hak asal ajakan dan kewenangan lokal berskala Desa;
c. pembahasan rancangan sebagaimana dimaksud pada abjad b harus melibatkan partisipasi Desa, unsur pakar dan pemangku kepentingan yang terkait; dan
d. menghasilkan rancangan daftar kewenangan menurut hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa.
Hasil rancangan daftar kewenangan ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota, serta Bupati/Walikota harus melakukan sosialisasi Peraturan Bupati/Walikota kepada Desa, yang diikuti proses fasilitasi penetapan daftar kewenangan di tingkat Desa.
Peran kepala desa dan BPD menjadi sangat penting dalam urusan pengkajian dan inventarisasi serta identifikasi kewenangan tersebut, dimana pada Pasal 19 disebutkan bahwa:
“Kepala Desa bantu-membantu BPD harus melibatkan masyarakat Desa melaksanakan musyawarah untuk memilih kewenangan menurut hak asal undangan dan kewenangan lokal berskala Desa dari daftar yang telah ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota sesuai dengan kebutuhan dan kondisi Desa”.
Lebih lanjut disebutkan pada Pasal 20, bahwa kepala Desa bantu-membantu BPD dapat menambah jenis kewenangan menurut hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa lainnya sesuai dengan prakarsa masyarakat, kebutuhan dan kondisi lokal Desa. Serta Kepala Desa memutuskan Peraturan Desa wacana kewenangan menurut hak asal ajakan dan kewenangan lokal berskala Desa (pasal 21).
6. Pungutan Desa yang di larang dan di bolehkan
Desa dilarang melakukan pungutan atas jasa layanan administrasi yang diberikan kepada masyarakat Desa. (2) Jasa layanan manajemen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup: a. surat pengantar; b. surat rekomendasi; dan c. surat keterangan.
Sedangkan kewenangan melaksanakan pungutan, sesuai Pasal 23 (1) disebutkan bahwa Desa berwenang melakukan pungutan atas jasa usaha mirip pemandian umum, wisata desa, pasar Desa, tambatan bahtera, keramba ikan, pelelangan ikan, dan lain-lain.
(2) Desa mampu menyebarkan dan memperoleh bagi hasil dari perjuangan bersama antara pemerintah Desa dengan masyarakat Desa.
7. Penutup
Kewenangan menurut hak asal seruan dan kewenangan desa berskala lokal desa, merupakan bentuk dan jenis kewenangan yang diakui oleh negara dalam rangka mempercepat proses DESA MEMBANGUN INDONESIA. Oleh alasannya itu desa harus mempunyai doktrin diri dan optimisme dalam menata dan membangun dirinya. Keberhasilan desa untuk berdiri dari keterpurukan dan keterbelakangan dikala seluruh stakeholders desa bersatu, bantu-membantu menjalankan seluruh kewenangan yang dimilikinya secara konsisten untuk kepentingan bersama, bukan untuk membangun kejayaan segelintir orang apalagi untuk kepentingan kepala desa dan perangkat desa semata.
Penulis ialah Pendobrak Desa
Sumber: https://www.karanganyar.desa.id/2017/11/17/memahami-kewenangan-desa-menurut-uu-desa/