Jumlah alokasi Dana Desa selama empat tahun terakhir naik terus. Sejak 2015, puluhan triliun Dana Desa dari APBN digelontorkan untuk desa. Dana Desa pertama kali dianggarkan sebesar Rp20,77 triliun pada 2015. Kemudian jumlahnya meningkat menjadi Rp46,98 triliun pada 2016. Peningkatan juga terjadi pada tahun anggaran 2017 dan 2018.
Peningkatan alokasi anggaran ini tentunya beserta cita-cita imbas kasatmata bagi desa. Terutama dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Akan tetapi, seiring meningkatnya alokasi anggaran, potensi terjadinya korupsi juga akan semakin besar.
Persoalan Dana Desa
Untuk mampu menemukenali potensi korupsi Dana Desa, mampu berkaca pada perkara-masalah penyalahgunaan dana tunjangan sosial (bansos) atau dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang mudah terjadi di berbagai tempat.
Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam laporan hasil kajian "Pengelolaan Keuangan Desa: Alokasi Dana Desa (ADD) dan Dana Desa terdapat", terdapat 14 temuan persoalan pengelolaan Dana Desa. Ada empat aspek yang menjadi sorotan, yakni (1) regulasi dan kelembagaan, (2) tata laksana, (3) pengawasan, dan (4) sumber daya manusia.
Pada aspek tata laksana, ada duduk perkara kerangka waktu pengelolaan anggaran yang sulit dipatuhi oleh tiap-tiap desa. Selain itu, satuan harga baku barang/jasa yang dijadikan pola dalam menyusun anggaran belum tersedia. Belum lagi permasalahan seputar transparansi planning dan penggunaan dana, juga soal laporan keuangan desa yang belum sesuai standar.
Dalam aspek pengawasan, KPK menyoroti masih rendahnya efektivitas kerja inspektorat di tempat. Mekanisme pengaduan masyarakat pun belum terkelola dengan baik, cenderung mengarah pada pengaduan ke level pemerintah pusat.
Tidak hanya KPK yang menyorot soal pengelolaan Dana Desa. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menggarisbawahi 82,2 persen penggunaan dana desa diperuntukkan dalam konteks pembangunan infrastruktur. Contohnya pembangunan jalan aspal, irigasi, talud, dan sebagainya.
Hanya 7,7 persen penggunaan Dana Desa yang meliputi pemberdayaan, contohnya pelatihan untuk kelompok PKK, karang taruna, pembinaan perangkat desa, dan lain-lain. Artinya, penggunaan Dana Desa masih bekerja dalam konteks "uang acara" atau "proyek".
Cara pandang yang umum terhadap "uang acara" atau "proyek" sebaiknya menyalakan alarm potensi penyalahgunaan Dana Desa. Pemerintah mampu berkaca pada masalah-kasus yang terjadi dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).
Korupsi Dana Desa dan Usulan Melibatkan Kepolisian
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat pada 2017 ada sebanyak 576 kasus korupsi dengan jumlah tersangka 1.298 orang terjadi di Indonesia. Jika dilihat lebih rinci, penyalahgunaan anggaran menduduki posisi teratas dengan 154 perkara korupsi yang mengakibatkan kerugian negara sampai Rp1,2 triliun.
Berdasarkan sektornya, anggaran desa merupakan sektor yang paling banyak korupsi dengan total 98 kasus dengan kerugian negara mencapai Rp39,3 miliar. Artinya, dana desa merupakan lahan lembap dan sangat potensial dikorup.
Sebagai langkah awal penanganan permasalahan dana desa, pada 20 Oktober 2017, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Sandjojo bersama dengan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Kapolri Jendral Tito Karnavian menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepahaman tentang pencegahan, pengawasan dan penanganan duduk perkara dana desa. MoU itu mengatur bahwa pelibatan pegawapemerintah kepolisian dirasakan diperlukan.
Unsur Polisi Republik Indonesia yang dilibatkan adalah Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas), Kepala Kepolisian Sektor (kapolsek) hingga Kepala Kepolisian Resor (Kapolres).
Kapolri Tito menyambut baik nota kesepahaman tersebut. Ia menyatakan akan memberi penghargaan bagi jajarannya yang berhasil mengamankan dana desa. “Wilayah Kapolda, Kapolsek, Babinkamtibmas yang aku anggap berprestasi, bisa mengawal dan mendukung semoga dana betul-betul efektif saya akan berikan reward,” ujarnya.
Kesepakatan itu mengasumsikan bahwa pegawanegeri terkecil Polisi Republik Indonesia, Babinkamtibmas, akan menjadi ujung tombak pengawasan di setiap desa. Permasalahannya, Polisi Republik Indonesia sendiri belum bisa mencukupi rasio keterwakilan aparatnya di setiap desa: untuk 1 Bhabinkamtibmas untuk 1 desa.
Dalam paparan kebijakan Kapolri, jumlah personel Bhabinkamtibmas sebanyak sebanyak 54.285 personel. Bahkan, dari jumlah yang ada tersebut, masih ada 14.956 personel yang merangkap tugas. Untuk target acara kamtibnas Polisi Republik Indonesia yang menjangkau 81.711 desa di seluruh Indonesia, berarti Polisi Republik Indonesia masih masih kekurangan 27.426 personel Bhabinkamtibnas.
Sementara itu, untuk acara dana desa 2018 yang menjangkau 74.958 desa, Polisi Republik Indonesia mempunyai kekurangan 20.673 personel Bhabinkamtibnas. Perbandingan ini belum memperhitungkan personel yang selama ini merangkap peran, baik bekerja untuk lebih dari satu wilayah desa, ataupun tugas lainnya.
Selain kekurangan petugas, infrastruktur penunjang kinerja kepolisian juga masih jauh dari cukup. Sampai hari ini, diketahui masih banyak daerah yang tidak mempunyai pos polisi.
Data statistik kriminal BPS memperlihatkan, pada 2014, hanya sekitar 10,6 persen desa atau kelurahan di Indonesia yang di wilayahnya terdapat pos polisi, termasuk polsek, polres, dan polda. Keberadaan pos polisi yang paling banyak ada di provinsi Jawa Timur yakni 949 pos polisi dan Jawa Barat sebanyak 813 pos.
Sementara itu, Aceh dan Gorontalo hanya mempunyai masing-masing 59 pos polisi. Secara keseluruhan, memang sebanyak 71,3 persen desa/kelurahan yang tidak mempunyai pos polisi menyatakan bahwa akses ke pos polisi terdekat cenderung mudah.
Saat ini, selain menjaga keamanan dan ketertiban, kepolisian menerima amanat tambahan untuk melaksanakan pengawalan dana desa. Apakah kepolisian mampu menanggung tugas itu, di samping tugas yang sudah ada sebelum pemberlakuan dana desa?
Merujuk pada Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2015 pasal 27, abdnegara Bhabinkamtibmas mempunyai tugas pokok untuk melaksanakan training masyarakat serta menjaga situasi desa/kelurahan biar tetap aman. Menurut pasal 26, beliau juga berperan sebagai mediator untuk menjaga hubungan baik antar-masyarakat serta menjadi kepanjangan tangan kepolisian dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Pelibatan Bhabinkamtibnas cukup beralasan. Pemerintah sentra memerlukan deteksi dan pelaporan dini cepat dari tenaga aparat yang bekerja memakai garis komando terpusat atau top-down.
Merujuk penelitian Benjamin A. Olken yang berjudul "Monitoring Corruption: Evidence from a Field Experiment in Indonesia" (2005); traditional top-down monitoring berperan dalam mengurangi potensi korupsi, bahkan dalam situasi yang dikenal sangat koruptif sekalipun. Olken memang tidak sedang membicarakan acara dana desa, tapi hasil studinya yang melihat 600 proyek pembangunan jalan desa di Indonesia menarik untuk diperhatikan.
Namun, partisipasi masyarakat juga harus diperhatikan, apalagi jika melihat kurangnya personel Bhabinkamtibnas dan infrastruktur pos polisi di atas. Masyarakat bisa terlibat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan evaluasi pembangunan.
Tanpa pelibatan masyarakat, Dana Desa akan dilihat sekadar sebagai bagi-bagi uang proyek. Alih-alih memberdayakan dan membikin makmur desa, mampu-mampu dana desa malah merusaknya.***