Data perkembangan desa menjadi kebutuhan pokok untuk mengukur bagaimana arah perubahan desa terjadi. Selama ini pemerintah telah menyebabkan desa sebagai salah satu poros utama pembangunan. Puluhan triliun dana telah digelontorkan oleh pemerintah demi menjalankan misi pembangunan tersebut. Target pemerintah setidaknya mencapai 2.000 desa mandiri serta mengentaskan 5.000 desa tertinggal menjadi berkembang.
Semenjak UU Desa digulirkan empat tahun lalu, pemerintah mendukung gerakan pembangunan desa supaya masyarakat desa bisa menjadi subjek pembangunan. Bukti ini tercetak terang dalam Nawacita ketiga, ialah "Membangun dari Pinggiran dengan Memperkuat Daerah-Daerah dan Desa Dalam Kerangka Negara Kesatuan." Upaya ini lalu diperkuat dengan perlindungan materiil berupa acara dana desa.
Dana desa yang disalurkan tak tanggung-tanggung, mengalami kenaikan tiap tahunnya adalah pada 2015 sebesar Rp 20,67 triliun, 2016 sebesar Rp 46,98 triliun, 2017 sebesar Rp 60 triliun, 2018 masih sebesar Rp 60 triliun, dan untuk 2019 pemerintah mengalokasikan hingga Rp 73 triliun. Dana ini banyak digunakan untuk perbaikan infrastruktur seperti jalan desa, air higienis, MCK, irigasi, PAUD, dan sebagainya. Pemerintah tentu mengharapkan hasil bagunan fisik ini berdampak besar pada akselerasi kemajuan desa.
Data yang Tersedia
Perkembangan desa bisa dilihat dari berbagai data yang tersedia. Salah satunya yaitu Indeks Desa Membangun (IDM) yang diluncurkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT). Indeks ini mengelompokkan desa menjadi lima kategori adalah desa mampu berdiri diatas kaki sendiri, desa maju, desa berkembang, desa tertinggal, dan desa sangat tertinggal. IDM mulai diluncurkan pada 2015 dengan bersumber pada data Potensi Desa yang telah dipublikasikan oleh BPS.
Ada 54 variabel yang kemudian dikelompokkan menjadi 3 dimensi ialah ekonomi, sosial dan ekologi. Indikator sosial dipakai untuk melihat bagaimana kondisi sosial masyarakat desa yang terdiri dari modal sosial, kesehatan, pendidikan, dan permukiman. Dimensi ekonomi digunakan untuk menggambarkan bagaimana ketahanan ekonomi desa yang dilihat dari keragaman produksi desa, tersedianya pusat pelayanan perdagangan, kanal distribusi/logistik, jalan masuk ke forum keuangan, lembaga ekonomi, dan keterbukaan wilayah. Sedangkan, dimensi terakhir yakni dimensi ekologi melihat kondisi lingkungan desa dari variabel kualitas lingkungan, potensi rawan bencana, dan tanggap tragedi.
Pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo ialah 2015, hanya 173 (0,23%) dari 74.093 desa yang menduduki kategori desa mandiri, disusul 3.610 desa maju (4,83%), 22.916 desa berkembang (30,66%), 33.948 desa tertinggal (45,41%), dan 14.107 desa sangat tertinggal (18,87%). Data ini memberikan bahwa kondisi desa pada waktu itu masih didominasi oleh kategori desa tertinggal dan sangat tertinggal, sementara desa berdikari dan desa maju hanya mengambil porsi kurang dari 5% saja.
Perlu diingat kembali bahwa dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2015-2019 pemerintah menargetkan terjadi peningkatan desa paling sedikit 2.000 desa mampu berdiri diatas kaki sendiri dan penurunan desa tertinggal hingga dengan 5.000 desa tertinggal. Artinya, pemerintah harus bisa membuat komposisi perkembangan status desa yang terdiri dari setidaknya 2,93% desa berdikari, dan menekan jumlah desa tertinggal sampai tersisa 39,07% pada 2019. Bukan pekerjaan gampang tentunya. Pemerintah perlu terus memantau bagaimana perkembangan desa setiap tahunnya agar penanganan melalui kebijakan mampu sigap dilakukan.
Pada tahun berikutnya 2016, Kemendesa PDTT melakukan survei untuk mengisi kekosongan input data IDM, alasannya adalah publikasi data Potensi Desa yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tidak dilakukan setiap tahun. Ada 1.429 desa yang dijadikan sebagai sampel yang alhasil memberikan bahwa komposisi status perkembangan desa mengalami perbaikan. Meski tidak mampu dijadikan patokan sepenuhnya bahwa realitas seluruh desa lainnya mengalami perubahan dengan komposisi demikian, namun setidaknya dengan hasil survei ini, pemerintah mampu melihat citra bergairah bagaimana arah pembangunan desa.
Dalam rentang waktu satu tahun, komposisi desa tertinggal mengalami penurunan dari 45,41% pada 2015 menjadi 31,36% pada 2016, jauh melebihi sasaran yang diharapkan. Sementara, untuk desa berdikari juga mengalami perbaikan dari semula 0,23% menjadi 1,19% pada 2016. Komposisi status lainnya adalah 15,32% desa maju, 46,95% desa berkembang, dan 5,17% desa sangat tertinggal. Sekali lagi, capaian ini diperoleh melalui hasil survei dengan sampel yang sedikit, sehingga pemerintah belum mampu melakukan klaim sepenuhnya.
Pada 2017, pemerintah bolos dalam publikasi data perkembangan desa. Hal ini bantu-membantu bukan tanpa alasan. Kali ini pemerintah melakukan survei kembali untuk melihat perkembangan desa secara lebih kasatmata dengan jangkauan sampel yang lebih besar ialah 69.115 desa, hampir mendekati total keseluruhan desa yang berjumlah 74.794 desa. Konsekuensinya waktu yang diperlukan juga panjang, sehingga hasil survei yang telah dimulai pada 2017 ini gres bisa disampaikan ke publik satu tahun berikutnya yakni tahun kini 2018.
Melihat dari segi jumlah sampelnya, survei kali ini dirasa lebih tepat dibandingkan dengan tahun dasar yakni 2015. Selama 3 tahun berjalan, status beberapa desa telah mengalami perbaikan. Jumlah desa maju bertambah menjadi 4.784 desa (6,92%), desa berkembang sebanyak 30.293 desa (43,83%), dan desa sangat tertinggal jauh berkurang menjadi 6.633 desa (9,6%). Bahkan untuk sasaran pemerintah dalam mengentaskan setidaknya 5.000 desa tertinggal hampir tercapai, sebab jumlah desa tertinggal terbaru sebanyak 27.092 desa (39,20%). Angka ini jauh berkurang dibandingkan 2015.
Jerih payah pemerintah dan banyak sekali pihak untuk mengangkat desa dari ketertinggalan tercermin dari hasil tersebut. Namun demikian, pekerjaan rumah tetap belum usai karena kondisi berbeda untuk sasaran peningkatan desa mandiri. Datanya memang mengalami peningkatan namun tidak signifikan, yakni dari 173 desa pada 2015 menjadi 313 desa berdikari pada 2018, masih jauh dari target yang diinginkan. Akselerasi perbaikan status desa tertinggal tampaknya lebih kencang daripada desa mampu berdiri diatas kaki sendiri.
Pemerintah harus bergegas diri untuk menelisik lebih dalam dan mencari solusi guna mewujudkan sasaran yang telah direncanakan. Waktu yang tersisa sekarang hanya 1 tahun, butuh kerja keras dan dorongan tolong-menolong dari semua pihak. Mengungkit status desa demi kesejahteraan masyarakat desa merupakan tugas semua pihak adalah pemerintah, masyarakat desa, dan juga kita.
Oleh: Ana Fitrotul Mu'arofah, S.E, M.E
Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia
Sumber: Detik.com