Mendiskusi kewenangan desa masih menjadi info menarik terlebih ditingkat regulasi masih menyisakan beberapa permasalahan dan perbedaan cara pandang terhadap UU Desa, terutama Permendagri No 1 Tahun 2016 tentang Penataan Desa yang dipandang telah menafikan prakarsa desa dalam penataan desa, serta beberapa permasalahan di tingkat tempat, masih minimnya kawasan melaksanakan penataan kewenangan desa melalui peraturan kepala tempat. Persoalan tersebut agar menjadi sebuah dinamika yang menjadi pembelajaran untuk terus melakukan perbaikan-perbaikan dalam implementasi UU Desa.
Penyusunan Peta Partisipatif/Foto: Pendampingdesa.or.id 
Hal menarik terkait kewenangan desa yakni terkait batas wilayah, sebagai dasar menata-kelola ruangan penguasaan dalam menjalankan serta menegakan kewenangan desa, yang berimplikasi kepada model pembangunan dan pemberdayaan di Desa.

Desa berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2014 di definisikan ialah Desa adalah desa dan desa budbahasa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, yakni kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal seruan, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada pasal 1 angka 1 UU Nomor 6 Tahun 2014 ihwal Desa, terang bahwa desa mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati. Makara yang dimaksud penyelenggaraan urusan pemerintahan adalah “untuk mengatur”, untuk mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat.

Dari defini Desa tersebut aku hanya ingin menggaris bawahi ihwal batas wilayah dan kewenangan desa, kewenangan tanpa adanya batas wilayah adalah absurd. Adanya kepastian dan penegasan batas wilayah dan kewenangan desa menjadi faktor penentu dalam proses pembangunan dan pemberdayaan di Desa. Tentang kewenangan aku tidak mengupas lebih dalam alasannya Amanat UU Desa sudah terang, tinggal bagaimana melanjutkan pada tingkat regulasi dan implementasi disetiap level.

Batas wilayah adalah problem yang sangat pelik sampai dikala ini, bukan saja di dalam satu desa dan antar desa, tetapi dengan wilayah tempat hutan, perkebunan, pertambangan, dll baik dikuasai oleh Negara maupun Swasta/Private. Persoalan yang muncul ditingkat masyarakat maupun kasasi sangat begitu komplek, dan senantiasa melahirkan permaslahan-permasalahan baru hingga saat ini belum mampu diselesaikan, dan hal tersebut menjadi konsern penggerak KPA dan jejaringnya untuk melakukan mediasi dan advokasi terhadap aneka macam permaslahan yang seringkali muncul tidak saja oleh masyarakat, tetapi pelanggaran oleh abdnegara negara, sampai menimbulkan konflik horizontal dan vertikal, persoalan keamanan masyarakat, pelanggaran HAM, dll. Sehingga duduk perkara agraria bukan sekedar rebutan lahan, tetapi sejatinya yakni masalah politik dan kedaulatan rakyat, bahkan kedaulatan Negara.

Desa selama ini mengenal batas daerahnya sebagai batas administratif dari suatu wilayah daratan dan perairan yang ada di wilayah Desa dan Kecamatan, yang dikelola oleh Pemda di dalam batas wilayahnya masing-masing berdasar kewenangannya. Penetapan dan penegasan batas desa merupakan cilkal bakal bagi penetapan dan penegasan batas wilayah yang diharapkan untuk proses pengambilan keputusan pembangunan dan kebijakan-kebijakan lainnya.

Penegasan batas wilayah dilakukan dengan cara pemetaan yang dituangkan dalam bentuk peta desa ialah sebagai implementasi Undang Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial dan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Penegasan dan Penetapan Batas Desa menjadi strategis baik untuk kepentingan Desa, Pemerintah Daerah dan Pusat. Bagi Desa batas wilayah desa menjadi sangat penting dalam menerapkan pembangunan desa berbasis asset desa, batas wilayah desa menentukan seberapa penguasaan dan kepemilikan asset sebagai modal pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Batas wilayah desa hanya bisa dilakukan dengan pemetaan dengan berbagai metode dengan melibatkan masyarakat, sehingga melahirkan peta partisipatif yang selanjutnya mampu dijadikan peta definitif oleh pemerintah daerah, dengan mengakui peta partisipatif sebagai peta indikatif, peta dasar untuk selanjutnya disempurnakan sesuai dengan kaidah pemetaan oleh pemerintah pusat dan tempat yang berperan sebagai walidata dalam pengelolaan peta dan data.

Seiring dengan Kebijakan Satu Peta yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta. Sudah seharusnya seluruh pemangku kepentingan pembangunan khususmya Desa, mampu memahami kebijakan ini sebagai momentum bagi desa untuk melaksanakan pemetaan partisipatif karena kebijakan ini menunjukkan peluang adanya legalisasi (rekognisi) dan adopsi data spasial partisipatif, yang bermanfaat bagi pemerintah dalam membantu menyelesaikan aneka macam masalah konflik atas lahan dan ruang dalam wilayah Desa maupun tempat perdesaan, sehingga sesuai amanat UU No 6 Tahun 2014 perihal Desa pada pasal 81 ayat 2 menegakan bahwa Pembangunan Kawasan Perdesaan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di kawasan perdesaan melalui pendekatan pembangunan partisipatif. Selanjutnya pada pasal 84 ayat 1, Pembangunan tempat perdesaan oleh Pemerintah, pemerintah Propinsi, Pemda Kabupaten/Kota atau pihak ketiga yang terkait pemanfaatan asset desa dan tata ruang Desa wajib melibatkan Pemerintahan Desa. Dalam hal penetapan batas desa pada pasal 8 ayat 3 poin f, disebutkan bahwa batas wilayah desa yang dinyatakan dalam bentuk peta desa, ditetapkan dalam peraturan Bupati/Walikota. Inilah hal regulasi strategis yang semakin membuka ruang bagi desa untuk mengambil bagian dan mempunyai prakarsa dalam proses mengaktualisasikan Desa dalam kancah pembangunan daerah maupun Nasional.

UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa pada Ketentuan Umum Pasal 1 mendefinisikan 2 konsepsi, adalah: Pembangunan Desa dan Pemberdayaan desa. Pembangunan Desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. (pasal 1 angka 8) dan Pemberdayaan Masyarakat Desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, perilaku, keterampilan, sikap, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, acara, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi duduk perkara dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa. (pasal 1 angka 12).

Menurut Bito Wikantosa, Subdit Perencanaan dan Pembangunan Partisipatif Kementerian Desa, PDTT, pada Seminar Nasional Kebijakan Satu Peta yang diselenggarakan JKPP di Bogor menegaskan bahwa dalam kontek pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa, batas desa ataupun peta desa yang dilakukan secara partisipatif dapat membangun kesadaran kolektif di Desa, sekaligus mendorong perubahan kerangka pemberdayaan masyarakat desa serta membangun paradigma baru pembangunan desa yang selama ini cenderung bersifat “belanja anggaran” yang sekedar mengakomodir keinginan kelompok bahkan elite desa dalam memanfaatkan anggaran desa, tetapi melalui Kebijakan Satu Peta dengan pengukuhan pemetaan partisipatif di Desa mampu mengarahkan penggunaan anggaran desa untuk mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki sebagai asset desa untuk membangun kesejahteraan masyarakat desa.

Cara pandang dikala ini bahwa dalam proses perencanaan pembangunan desa senantiasa menitikberatkan pada pendekatan masalah dalam merumuskan program dan acara pada prioritas pembangunan desa, sehingga tidak heran cara pandang “belanja anggaran” menjadi paradigma yang dianut melekat selama ini. Hal tersebut dapat kita cermati dalam dokumen perencanaan desa baik RPJMDesa maupun RKPdesa yang belum pertanda optimalisasi penggunaan potensi Desa, hal tersebut ditenggarai model fasilitasi dalam proses musyawarah pembangunan desa masih mengedepankan pembahasan yang bersifat ajuan persoalan, keluhan, keinginan kelompok mayarakat bahkan elite bukan lagi telaah terhadap kondisi realitas desa secara utuh untuk membangun kemakmuran desa.

Dana Desa sebagai bentuk Cash Transfer Negara seyogyanya dipandang sebagai instrumen yang bisa menjembatani masyarakat desa dalam mengoptimalkan pengelolaan atas asset yang dimiliki. Menurut Borni Kurniawan, dalam Buku Pengelolaan Asset Desa, setidaknya ada lima jenis asset desa yang saling komplementer dalam rangka membangun kesejahteraan masyarakat desa yakni, 1. Sumber daya alam, 2. Sumber daya keuangan, (termasuk dana desa), 3. Modal Fisik berupa infrastruktur yang sudah ada, 4. Modal Sosial berupa nilai-nilaimkehidupan masyarakat (bantu-membantu,dll) dan 5. Sumber daya insan, berupa kader-kader desa, pengusaha desa, dll.

Pemetaan di Desa mampu mengidentifikasi seluruh potensi asset sebagaimana disebut diatas, hanya bagaimana proses pemetaan ini dilakukan dalam ruang wilayah desa, dengan kepastian tata batas sebagai ruang kekuasaan desa dalam mengelola assetnya. Perlu adanya pengukuhan atas kerja-kerja partisipastif yang dilakukan masyarakat dan perlunya sinkronisasi oleh pemerintah tempat dalam memilih pelbagai tata batas desa, untuk menunjukkan kepastian aturan, serta koordinasi banyak sekali pihak sehingga tidak menjadikan permasalahan pada ketika proses pembangunan desa berlangsung. Pemetaan Desa partisipastif perlu political will pemerintah, sehingga baik pemerintah sentra dan tempat seyogyanya memberikan panduan sehingga pemetaan dilakukan dengan kaidah yang benar.

Peta partisipatif bahwasanya pemosisian masyarakat desa dalam pembangunan nasional, batas desa di wilayah masyarakat adab lebih mudah sebab batas teritorial secara geneolog masih hidup, sehingga untuk penataan desa akhlak lebih gampang alasannya salah satu syarat penataan desa budpekerti ialah batas desa. Pada basis desa pada umumnya penanda batas tradisional sudah hilang, sehingga mengacu pada batas desa berdasarkan atas peta manajemen yang ditetapkan supra desa.

Peta desa partisipatif harus mampu mendorong deklarasi kewenangan desa dan batas desa, hal tersebut perlu menerima perlindungan berbagai pihak, sehingga adanya jaminan atas kedaulatan dalam mengelola dan memanfaatkan asset Desa. Kebijakan Satu Peta, Satu Perencanaan dan Satu Anggaran mengakibatkan perencanaan desa berbasis data tunggal untuk pembangunan desa berbasis asset serta memperkuat konsolidasi anggaran melalui dana transfer ke desa. Dengan demikian Peran Pendamping Desa dan Tenaga Ahli P3MD yang ditugaskan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, sudah saatnya bergerak tidak pada wilayah kerja-kerja teknokratik dan administratif yang bersifat keproyekan, tetapi memperkuat Desa melalui penguatan basis data tunggal sebagai basis perencanaan desa, serta mendorong “Deklarasi Batas Desa dan Kewenangan Desa” untuk menjamin kepastian asset Desa dalam pembangunan desa berkelanjutan.[]

Diberdayakan oleh Blogger.
 
Top